Pengertian dalam undang-undang :
- Informasi
Elektronik
adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak
terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic
data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram,
teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol,
atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami
oleh orang yang mampu memahaminya.
- Transaksi
Elektronik
adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan Komputer,
jaringan Komputer, dan/atau media elektronik lainnya.
- Teknologi
Informasi
adalah suatu teknik untuk mengumpulkan, menyiapkan, menyimpan, memproses,
mengumumkan, menganalisis, dan/atau menyebarkan informasi.
- Dokumen
Elektronik
adalah setiap Informasi Elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan,
diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik,
optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau
didengar melalui Komputer atau Sistem Elektronik, termasuk tetapi tidak
terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau
sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol atau perforasi yang
memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu
memahaminya.
- Sistem
Elektronik
adalah serangkaian perangkat dan prosedur elektronik yang berfungsi
mempersiapkan, mengumpulkan, mengolah, menganalisis, menyimpan,
menampilkan, mengumumkan, mengirimkan, dan/atau menyebarkan Informasi
Elektronik.
- Penyelenggaraan
Sistem Elektronik adalah pemanfaatan Sistem Elektronik oleh
penyelenggara negara, Orang, Badan Usaha, dan/atau masyarakat.
- Jaringan
Sistem Elektronik adalah terhubungnya dua Sistem Elektronik atau
lebih, yang bersifat tertutup ataupun terbuka.
- Agen
Elektronik
adalah perangkat dari suatu Sistem Elektronik yang dibuat untuk melakukan
suatu tindakan terhadap suatu Informasi Elektronik tertentu secara
otomatis yang diselenggarakan oleh Orang.
- Sertifikat
Elektronik
adalah sertifikat yang bersifat elektronik yang memuat Tanda Tangan
Elektronik dan identitas yang menunjukkan status subjek hukum para pihak
dalam Transaksi Elektronik yang dikeluarkan oleh Penyelenggara Sertifikasi
Elektronik.
- Penyelenggara
Sertifikasi Elektronik adalah badan hukum yang berfungsi sebagai
pihak yang layak dipercaya, yang memberikan dan mengaudit Sertifikat
Elektronik.
- Lembaga
Sertifikasi Keandalan adalah lembaga independen yang dibentuk oleh
profesional yang diakui, disahkan, dan diawasi oleh Pemerintah dengan
kewenangan mengaudit dan mengeluarkan sertifikat keandalan dalam Transaksi
Elektronik.
- Tanda
Tangan Elektronik adalah tanda tangan yang terdiri atas
Informasi Elektronik yang dilekatkan, terasosiasi atau terkait dengan
Informasi Elektronik lainnya yang digunakan sebagai alat verifikasi dan
autentikasi.
- Penanda
Tangan
adalah subjek hukum yang terasosiasikan atau terkait dengan Tanda Tangan
Elektronik.
- Komputer adalah
alat untuk memproses data elektronik, magnetik, optik, atau sistem yang
melaksanakan fungsi logika, aritmatika, dan penyimpanan.
- Akses adalah
kegiatan melakukan interaksi dengan Sistem Elektronik yang berdiri sendiri
atau dalam jaringan.
- Kode
Akses
adalah angka, huruf, simbol, karakter lainnya atau kombinasi di antaranya,
yang merupakan kunci untuk dapat mengakses Komputer dan/atau Sistem
Elektronik lainnya.
- Kontrak
Elektronik
adalah perjanjian para pihak yang dibuat melalui Sistem Elektronik.
- Pengirim adalah
subjek hukum yang mengirimkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik.
- Penerima adalah
subjek hukum yang menerima Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik dari Pengirim.
- Nama
Domain
adalah alamat internet penyelenggara negara, Orang, Badan Usaha, dan/atau
masyarakat, yang dapat digunakan dalam berkomunikasi melalui internet,
yang berupa kode atau susunan karakter yang bersifat unik untuk
menunjukkan lokasi tertentu dalam internet.
- Orang adalah
orang perseorangan, baik warga negara Indonesia, warga negara asing,
maupun badan hukum.
- Badan
Usaha
adalah perusahaan perseorangan atau perusahaan persekutuan, baik yang
berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum.
- Pemerintah adalah
Menteri atau pejabat lainnya yang ditunjuk oleh Presiden.
Kejahatan dunia maya (
Inggris:
cybercrime) adalah istilah yang mengacu kepada aktivitas
kejahatan
dengan
komputer
atau
jaringan komputer menjadi alat, sasaran atau
tempat terjadinya kejahatan. Termasuk ke dalam kejahatan
dunia maya
antara lain adalah penipuan lelang secara
online, pemalsuan
cek, penipuan
kartu kredit/carding,
confidence fraud, penipuan identitas,
pornografi
anak, dll.
Hal-hal yang
diatur dalam UU ITE secara garis besar
Secara garis besar UU ITE mengatur
hal-hal sebagai berikut :
* Tanda tangan elektronik memiliki kekuatan hukum yang sama dengan tanda tangan
konvensional (tinta basah dan bermaterai). Sesuai dengan e-ASEAN Framework
Guidelines (pengakuan tanda tangan digital lintas batas).
* Alat bukti elektronik diakui seperti alat bukti lainnya yang diatur dalam
KUHP.
* UU ITE berlaku untuk setiap orang yang melakukan perbuatan hukum, baik yang
berada di wilayah Indonesia maupun di luar Indonesia yang memiliki akibat hukum
di Indonesia.
* Pengaturan Nama domain dan Hak Kekayaan Intelektual.
* Perbuatan yang dilarang (cybercrime) dijelaskan pada Bab VII (pasal 27-37):
o Pasal 27 (Asusila, Perjudian, Penghinaan, Pemerasan)
o Pasal 28 (Berita Bohong dan Menyesatkan, Berita Kebencian dan Permusuhan)
o Pasal 29 (Ancaman Kekerasan dan Menakut-nakuti)
o Pasal 30 (Akses Komputer Pihak Lain Tanpa Izin, Cracking)
o Pasal 31 (Penyadapan, Perubahan, Penghilangan Informasi)
o Pasal 32 (Pemindahan, Perusakan dan Membuka Informasi Rahasia)
o Pasal 33 (Virus?, Membuat Sistem Tidak Bekerja (DOS?))
o Pasal 35 (Menjadikan Seolah Dokumen Otentik (phising?))
Pasal 45
(1) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat
(1), ayat (2), (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6
(enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah).
(2) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat
(1) atau ayat (dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun
dan/atau denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Indonesia, warga Negara asing, maupun badan hukum”.
Keberadaan Badan Hukum diperjelas kembali dalam Pasal 52 ayat (4) UU ITE bahwa
Korporasi yang melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai
Pasal 37 UU ITE, termasuk menyebarkan informasi elektronik dan/atau dokumen
elektronik yang bermuatan illegal content
dikenakan pemberatan pidana pokok ditambah dua pertiga.
Peristiwa:
perbuatan penyebaran informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik seperti
dalam Pasal 27 sampai Pasal 29 harus memenuhi unsur:
a. Illegal Contentseperti
penghinaan, pencemaran nama baik, pelanggaran kesusilaan, berita bohong,
perjudian, pemerasan, pengancaman, menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan
individu, ancaman kekerasan atau menakut-nakuti secara pribadi
b. Dengan sengaja dan tanpa hak, yakni dimaksudkan bahwa pelaku
mengetahui dan menghendaki secara sadar tindakannya itu dilakukan tanpa
hak. Pelaku secara sadar mengetahui dan menghendaki bahwa perbuatan
“mendistribusikan” dan/atau “mentransmisikan” dan/atau “membuat dapat
diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik” adalah memiliki
muatan melanggar kesusilaan. Dan tindakannya tersebut dilakukannya tidak legitimate interest.
Perbuatan pelaku berkaitan illegal content dapat dikategorikan sebagai berikut:
a. Penyebaran
informasi elektronik yang bermuatan illegal
content
b. Membuat dapat
diakses informasi elektronik yang bermuatan illegal
content
c.
Memfasilitasi perbuatan penyebaran informasi elektronik, membuat dapat
diaksesnya informasi elektronik yang bermuatan illegal content (berkaitan dengan pasal 34 UU ITE)
Perbedaan pendapat soal
substansi Pasal 27 ayat (3) UU ITE. Ada pendapat bahwa penafsiran Pasal 27 ayat
(3) UU ITE berkaitan dengan Pasal 310 KUHPidana, yang mana unsur “di muka umum”
berlaku pula dalam penyebaran informasi elektronik bermuatan penghinaan
dan/atau pencemaran nama baik, misalnya informasi elektronik yang disebarkan
lewat email dikatakan tidak memenuhi unsur di muka umum karena sifatnya
tertutup antar individu. Sementara, pendapat lain bahwa unsur di muka umum
tidak dapat digunakan dalam penyebaran informasi elektronik karena kekhususan
penyebaran informasi elektronik: cepat, berbagai jalur (seperti email, web,
sms), dan jangkauan yang lebih luas, sehingga informasi elektronik yang
disebarkan lewat email tidak perlu dipersoalkan dan dikaitkan dengan unsur di
muka umum, dan UU ITE menjangkau semua jenis penyebaran informasi elektronik baik
tertutup (misalnya lewat email), ataupun terbuka (misalnya lewat website)
Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-VI/2008 atas Judicial Review
Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat (1) UU No. 11 Tahun 2008, Mahkamah
Konstitusi berpendapat bahwa “penghinaan yang diatur dalam KUHP (penghinaan off
line) tidak dapat menjangkau delik penghinaan dan pencemaran nama baik yang
dilakukan di dunia siber (penghinaan on line) karena ada unsur “di muka umum”.
Dapatkah perkataan unsur “diketahui umum”, “di muka umum”, dan “disiarkan”
dalam Pasal 310 ayat (1) dan ayat (2) KUHP mencakup ekspresi dunia maya?
Memasukkan dunia maya ke dalam pengertian “diketahui umum”, “di muka umum”, dan
“disiarkan” sebagaimana dalam KUHP, secara harfiah kurang memadai, sehingga
diperlukan rumusan khusus yang bersifat ekstensif yaitu kata “mendistribusikan”
dan/atau “mentransmisikan” dan/atau “membuat dapat diakses” muatan pencemaran
nama baik”.
Berdasarkan pendapat Mahkamah Konstitusi tersebut dapat disimpulkan bahwa unsur
‘di muka umum’ tidak menjadi unsur dalam penyebaran informasi elektronik. Dalam
UU ITE telah diatur rumusan khusus yang bersifat ekstensif yaitu kata
“mendistribusikan” dan/atau “mentransmisikan” dan/atau “membuat dapat diakses”.
Ketiga istilah tersebut dapat dijelaskan pengertiannya sebagai berikut: Mendistribusikan
adalah perbuatan menyebarluaskan informasi atau dokumen elektronik melalui
media elektronik, seperti web, mailing list. Mentransmisikan
adalah perbuatan mengirimkan, memancarkan, atau meneruskan informasi melalui
perangkat telekomunikasi, seperti Handphone, Email.Membuat dapat
Diakses adalah perbuatan memberi peluang suatu informasi atau dokumen
elektronik dapat diakses oleh orang lain, seperti membuat link atau memberitahu
password suatu sistem elektronik
Apa yang dimaksud
dengan Sistem Elektronik? UU ITE tidak menggunakan istilah 'komputer' tetapi
menggunakan istilah 'sistem elektronik' untuk menunjukkan cakupan yang lebih
luas yakni segala peralatan elektronik dan prosedurnya yang berfungsi
mempersiapkan, mengumpulkan, mengolah, menganalisis, menyimpan, menampilkan,
mengumumkan, mengirimkan, dan/atau menyebarkan Informasi Elektronik. Peralatan
Handphone termasuk sistem elektronik karena fungsinya mempersiapkan,
mengumpulkan, mengolah, menganalisis, menyimpan, menampilkan, mengumumkan,
mengirimkan, dan/atau menyebarkan Informasi Elektronik misalnya berupa sms.
Siapa
Penyelenggara Sistem Elektronik? Berkaitan dengan istilah 'penyelenggaraan
sistem elektronik' yang tidak lain adalah penyelenggara negara, Orang, Badan
Usaha, dan/atau masyarakat yang memanfaatkan sistem elektronik misalnya untuk
pelayanan publik. Setiap penyelenggara negara, Orang, Badan Usaha, dan/atau
masyarakat yang memanfaatkan sistem elektronik harus tunduk pada ketentuan
dalam UU ITE, diantaranya tidak melakukan perbuatan menyebarkan informasi
elektronik yang dilarang, seperti pornografi, perjudian, berita bohong,
pengancaman. Bagi yang memanfaatkan sistem elektronik tidak melakukan perbuatan
tanpa hak seperti merusak sistem elektronik, memanipulasi informasi, menyadap
informasi milik orang lain. Bagi para pelaku yang melakukan perbuatan yang
dilarang akan dikenakan sanksi sesuai ketentuan dalam UU ITE.
Siapa
yang bertanggungjawab dalam Penyelenggaraan Sistem Elektronik?Setiap
penyelenggara bertanggungjawab terhadap sistem elektronik yang diselenggarakan,
kecuali berlaku dalam hal dapat dibuktikan terjadinya keadaan memaksa,
kesalahan, dan/atau kelalaian pihak pengguna Sistem Elektronik.Pihak Bank
bertanggungjawab terhadap sistem elektronik berupa ATM yang diselenggarakan.
Ketika ada hacker yang menyerang sistem elektronik itu sehingga transaksi
elektronik terganggu, maka pihak Bank bertanggungjawab untuk memulihkan kembali
sistem elektronik itu dan melaporkan ke pihak Kepolisian atas serangan tersebut,
sehingga Polisi dapat melakukan penyidikan untuk mencari bukti-bukti dan
pelakunya. Pihak Bank tidak bertanggungjawab dalam hal terjadi pada pengguna
sistem elektronik berupa situasi:
- keadaan
memaksa, misalnya pelaku kejahatan mengancam nasabah (pengguna) untuk
mengirimkan sejumlah uang lewat transaksi di atm ke rekening pelaku
- kesalahan,
misalnya nasabah (pengguna) mengirimkan uang ke rekening yang salah
tujuannya.
- kelalaian,
misalnya nasabah (pengguna) lalai menjaga PIN sehingga jatuh ke tangan orang
lain dan dapat digunakan untuk menarik atau mentransfer sejumlah uang.
Informasi
elektronik dan/atau dokumen elektronik dapat dijadikan sebagai alat bukti yang
sah sepanjang informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik itu berasal dari
sistem elektronik yang memenuhi ketentuan dalam UU ITE, yakni:
- dapat
menampilkan kembali Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik
secara utuh sesuai dengan masa retensi yang ditetapkan dengan Peraturan
Perundang-undangan;
- dapat
melindungi ketersediaan, keutuhan, keotentikan, kerahasiaan, dan
keteraksesan Informasi Elektronik dalam Penyelenggaraan Sistem Elektronik
tersebut;
- dapat
beroperasi sesuai dengan prosedur atau petunjuk dalam Penyelenggaraan
Sistem Elektronik tersebut;
- dilengkapi
dengan prosedur atau petunjuk yang diumumkan dengan bahasa, informasi,
atau simbol yang dapat dipahami oleh pihak yang bersangkutan dengan
Penyelenggaraan Sistem Elektronik tersebut; dan
- memiliki
mekanisme yang berkelanjutan untuk menjaga kebaruan, kejelasan, dan
kebertanggungjawaban prosedur atau petunjuk.
Bahasan di atas tentang TanggungJawab Penyelenggaraan Sistem Elektronik
merupakan Intisari dari kegiatan Bimbingan Teknis Undang-Undang Republik
Indonesia No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang berlangsung
di Banjarmasin, tgl 27 Juni 2011, yang terselenggara atas kerjasama Dinas
Perhubungan dan Informasi Propivinsi Kalimantan Selatan dan Direktorat Jenderal
Aplikasi Informatika, Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik
Indonesia.
Notaris
dan Transaksi Elektronik
Perdagangan saat ini
tidak lagi bersifat ’tradisional’ tetapi sudah memanfaatkan teknologi informasi
seperti internet untuk mempromosikan produk atau jasa dan melaksanakan
transaksi secara elektronik.Dikenal pula Kontrak Elektronik yang memungkinkan
para pihak terikat dalam suatu kesepakatan.
Perkembangan perdagangan dan sektor lainnya yang memanfaatkan teknologi
informasi dibarengi pula dengan perlindungan hukum. Undang-Undang No. 11 Tahun
2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik memuat pengaturan transaksi
elektronik dengan dukungan Sertifikat Elektronik, Tanda Tangan Elektronik, dan
Sistem Elektronik yang aman dan handal. Dengan Sertifikat Elektronik dan Tanda
Tangan Elektronik maka para pihak yang saling bertransaksi dapat diotentikasi
siapa penanda tangan, dan diketahui status keutuhan dokumen/informasi
elektronik yang ditanda tangani.
Penggunaan Tanda Tangan Elektronik memiliki kehandalan melebihi dari tanda
tangan konvensional dengan tinta basah. Kehandalan yang dimaksud, yakni:
- Authenticity(Ensured)
Dengan
menggunakan tanda tangan elektronik pada dokumen/informasi elektronik maka
dapat dibuktikan dengan metode tertentu siapa yang menandatangani
dokumen/informasi elektronik itu.
- Integrity
Integritas/integrity berhubungan dengan masalah keutuhan dari suatu
dokumen/informasi elektronik yang ditanda tangani. Penggunaan tanda tangan
elektronik dapat menjamin bahwa informasi elektronik yang ditanda tangani
dapat diketahui apakah mengalami suatu perubahan atau modifikasi oleh
pihak yang tidak bertanggungjawab.
- Non-Repudiation (Tidak
dapat disangkal keberadaannya)
Non repudiation atau tidak dapat disangkalnya keberadaan suatu
dokumen/informasi berhubungan dengan orang yang menandatanganinya. Si
penanda tangan dokumen/informasi elektronik tidak dapat memungkiri bahwa
ia telah menandatangani dan mengirimkan dokumen/informasi itu ke penerima
dan tidak dapat memungkiri isi dokumen itu sepanjang tidak ada upaya
perubahan oleh pihak yang tidak bertanggungjawab.
- Confidentiality
Dokumen/Informasi elektronik yang telah ditanda tangani dan dikirimkan
bersifat rahasia/confidential, sehingga tidak semua orang dapat mengetahui
isi informasi elektronik yang telah dirahasiakan dengan metode
kriptografi.
- Realible
Bahwa dokumen/informasi elektronik yang disampaikan melalui dunia maya
harus mampu dipertanggungjawabkan para pihak yang melakukan transaksi.
Dengan penggunaan tanda tangan elektronik disertai kunci publik dan kunci
privat dalam proses merahasiakan dan menandatangani dokumen/informasi
elektronik maka segala transaksi elektronik yang dilakukan di dunia maya
dapat dipertanggung jawabkan secara teknis.
Dengan memahami 5 unsur kehandalan Tanda Tangan Elektronik
didukung Sertifikat Elektronik, maka tidak dapat diragukan lagi keamanan
transaksi elektronik. Peran Notaris pun sangat diharapkan terlibat dalam
transaksi elektronik untuk memberi legitimasi yang kuat terhadap transaksi
elektronik yang berlangsung yakni mengindentifikasi tanda tangan elektronik dan
penanda tangan, serta memverifikasi dokumen/informasi elektronik yang
ditandatangani.
Peran Notaris dalam transaksi elektronik bersama-sama dengan pihak Certificate
Authority (CA) sebagai pihak ketiga yang dipercaya (trusted third party) dalam
mengamankan dan melegitimasi transaksi elektronik. Certificate Authority
merupakan pihak yang menerbitkan Sertifikat Elektronik yang berisikan identitas
pemilik sertifikat, kunci publik dan kunci privat yang digunakan dalam
transaksi elektronik untuk membuat tanda tangan elektronik, mengotentikasi si
penanda tangan dan memverifikasi dokumen yang ditanda tangani.
Notaris bertindak untuk melakukan otentikasi pihak yang melakukan transaksi
elektronik atau otentikasi pihak yang menandatangani dokumen/informasi
elektronik, memverifikasi dokumen/informasi elektronik yang ditanda tangani
para pihak, melakukan pengamanan terhadap penyimpanan informasi berupa tanda
tangan dan dokumen yang ditanda tangani, membantu CA dalam penerbitan
Sertifikat Elektronik khususnya mengidentifikasi para pihak yang memohon
penerbitan Sertifikat Elektronik, dan terakhir menjadi perantara transaksi
elektronik dimana dokumen elektronik dan tanda tangannya dikirim oleh Penerima
ke Notaris, lalu Notaris melakukan otentikasi dan verifikasi lebih dahulu
terhadap penanda tangan dan dokumen/informasi elektronik yang ditanda tangani,
selanjutnya diteruskan ke Penerima.
Seorang penanda tangan dokumen/informasi elektronik harus hadir di depan
Notaris sehingga memungkinkan Notaris untuk memeriksa identitas pelaku,
keinginan pelaku, dan kompetensi/kemampuan pelaku dalam melaksanakan transaksi
elektronik. Dengan bertatap muka, Notaris dapat pula mengetahui apakah pelaku
yang ingin bertransaksi secara elektronik berada dalam keadaan tanpa paksaan
atau ancaman fisik dari pihak lain, sehat rohani dan jasmani. Pemeriksaan
pelaku yang akan bertransaksi ini juga membantu dalam penerbitan Sertifikat
Elektronik.
Dalam pelaksanaan transaksi elektronik, pihak Pengirim mengirimkan
dokumen/informasi elektronik yang ditanda tangani ke Notaris, kemudian Notaris
memeriksa tanda tangan yang digunakan, identitas pengirim dan dokumen/informasi
elektronik yang ditanda tangani.Jika pemeriksaan ini selesai, Notaris dapat
mengirimkan informasi hasil pengecekan kepada Pengirim.Jika tidak ada masalah,
lalu Notaris mengirimkan dokumen/informasi elektronik tersebut kepada
Penerima.Pihak Penerima menyampaikan informasi kepada Notaris bahwa
dokumen/informasi elektronik telah diterimanya.Penyampaian tersebut
ditindaklanjuti oleh Notaris dengan mengirimkan informasi/laporan ke Pengirim
bahwa Penerima telah menerima dokumen/informasi elektronik yang ditanda
tangani.
Dari pembahasan di atas menunjukkan bahwa Certificate Authority tanpa didukung
dengan peran Notaris menjadikan transaksi elektronik yang aman tapi
legitimasinya lemah. Benar yang diuraikan dalam berbagai artikel di internet
bahwa Certificate Authority (CA) dan Notary Authority (NA) merupakan satu
kesatuan yang tak terpisahkan sebagai trusted third party dalam Transaksi
Elektronik. Certificate Authority (CA) menyediakan Infrastruktur Teknologi yang
aman digunakan oleh CA dan NA, sedangkan NA memberi legitimasi yang kuat dalam
penyelenggaraan Transaksi Elektronik.
Dalam era informasi
sekarang ini, penyalahgunaan data sering kali terjadi oleh pelaku kejahatan,
seperti penyalahgunaan data mengenai rekening perbankan.Untuk itu, kita
seharusnya waspada dan mengenali praktek-praktek kejahatan yang terjadi agar
terhindar dari kerugian.Salah satunya adalah E-mail Phising.
Di zaman sekarang,
orang sudah akrab dengan yang namanya e-mail. Dari usia muda (anak-anak) sampai
usia tua pun sudah mengenal e-mail. Banyak fasilitas yang dapat diperoleh dari
penggunaannya, misalnya mengirim pesan, foto, atau aplikasi dalam hitungan
detik atau menit.Tapi, penggunaan e-mail dapat pula membuat kita mengalami
kerugian seperti kehilangan uang dalam kasus E-mail Phising.
Phising adalah tindakan
memancing atau mengelabui seseorang untuk memperoleh informasi pribadi seperti
User ID, PIN, nomor rekening bank, nomor kartu kredit secara tidak sah.
Informasi ini kemudian dimanfaatkan oleh pelaku kejahatan untuk mengakses
rekening seseorang, menarik atau mentransfer sejumlah uang ke rekening pelaku,
atau melakukan belanja online dengan menggunakan kartu kredit orang lain.
Berbagai cara ditempuh untuk mewujudkan keinginan pelaku, yang paling sering
adalah mengiming-imingi seseorang dengan hadiah, membuat email dan website
palsu yang menyerupai email dan website bank yang asli.
Phising sendiri berasal
dari kata “fishing” berarti memancing. Phising dapat dilakukan dengan berbagai
cara, seperti lewat telepon, chating, termasuk e-mail. Pelaku Phising (disebut
pula “phiser”) biasanya mengajak atau menggiring seseorang dari e-mail untuk
masuk ke website tertentu. Oleh karena itu, biasanya dalam e-mail phising
terdapat link ke website tertentu.
Website tersebut akan
meminta seseorang untuk memasukkan data pribadi, seperti User ID, password,
PIN, nomor kartu kredit, nomor rekening, tanggal lahir, atau nama ibu kandung.
Kemudian, data-data yang diperoleh akan digunakan oleh pelaku phising untuk
melakukan tindak penipuan pada website bank yang asli.
Aksi Pelaku E-mail Phising :
Para pelaku kejahatan
ini (“phiser”) bisa dikatakan sebagai “pencuri” yakni pencuri data pribadi dan
uang orang lain, pada umumnya menggunakan e-mail atau website untuk memancing
korbannya.
Pelaku mencari korban
atau nasabah yang diketahui sering atau pernah melakukan transaksi online
melalui website perbankan.Kemudian, si pelaku membuat alamat e-mail palsu atau
e-mail jebakan yang mirip dengan alamat e-mail resmi dari perbankan. Biasanya
e-mail mereka berupa iming-iming hadiah atau meminta seseorang untuk memasukkan
data pribadi pada form yang disediakan dalam suatu website dengan alasan untuk
verifikasi ulang. Si pelaku membuat website palsu yang dirancang sedemikian
rupa sehingga mirip dengan website aslinya.Pelaku seringkali memanfaatkan logo
atau merk milik bank atau penerbit kartu kredit agar lebih meyakinkan si
korban.
Nasabah yang tertipu
akan login ke dalam website palsu dan mulai mengisi informasi penting mengenai
data pribadi, seperti nomor kartu kredit, PIN, nomor rekening, password,
tanggal lahir, atau nama ibu kandung. Si korban merasa telah mengunjungi
website asli bank yang ia gunakan yang tidak lain website palsu. Data pribadi
tadi telah dimiliki oleh pelaku phising dan akan digunakanannya untuk mengakses
rekening atau kartu kredit korban. Korban yang tertipu baru akan menyadari
penipuan saat ia menerima surat pernyataan dari bank atau penerbit kartu kreditnya.
Berikut ini urutan
kejadian dari kejahatan e-mail phising, dan diharapkan pembaca memahami untuk
mewaspadai dan menghindari praktek kejahatan seperti ini.
1. Pertama kali
Para pelaku phising ini
biasanya mencari informasi awal tentang nasabah bank yang cukup lengkap,
termasuk alamat e-mail nasabah tersebut. Si pelaku membuat alamat e-mail dan
website yang mirip dengan alamat e-mail dan website asli dari bank.
2. Menyebarluaskan e-mail
Pelaku phising mengirim
e-mail ke alamat e-mail nasabah bank. E-mail tersebut berisikan pesan yang
meyakinkan korban bahwa pesan tersebut dari bank resmi. Lalu, korban diarahkan
ke website jebakan yang mirip dengan website bank yang asli dengan cara mengklik
link yang disertakan dalam e-mail. Pesan tersebut dapat berupa informasi bahwa
nasabah telah memenangkan undian berhadiah, untuk itu nasabah diminta untuk
verifikasi data pribadi lewat website yang ditunjuk. Pesan dapat pula berupa
permintaan untuk kembali mengisi data pribadi dengan alasan sistem elektronik
bank baru mengalami gangguan atau perbaikan, terkadang disertai ancaman
misalnya dalam jangka waktu 48 jam jika nasabah tidak melakukan pengisian ulang
data pribadi maka rekening nasabah akan diblokir oleh bank.
3. Login
Korban yang mengklik
link yang tertera dalam e-mail dan setelah itu masuk ke website jebakan. Agar
lebih meyakinkan, korban diminta untuk melewati prosedur resmi dengan membuat
username dan password yang baru agar dapat login ke website jebakan
tersebut.Kemudian, muncul form yang meminta korban untuk mengisi ulang beberapa
informasi mengenai data pribadi misalnya nomor kartu kredit dan PIN.
4. Penyalahgunaan
Data pribadi korban
yang bersifat rahasia, sekarang sudah diketahui oleh pelaku phising. Dengan
informasi penting yang didapatnya, ia dapat masuk ke website resmi bank. Kini
pelaku bisa mentransfer uang korban ke rekening pelaku.Bahkan, Pelaku dapat
menggunakan kartu kredit korban untuk membayar tagihah-tagihan pribadinya, termasuk
berbelanja online.
5. Sadar menjadi korban
Si Korban akan sadar
kalau rekening atau kartu kreditnya telah dibobol setelah menerima surat
pernyataan dari bank, atau menemukan sendiri rekeningnya telah kosong.
Cara menghindari penipuan dengan modus E-mail Phising
:
- Waspada
jika menerima e-mail yang meminta informasi pribadi Anda, seperti nomor
rekening, nomor kartu kredit, PIN apalagi pelaku mengaku dari Bank. Bank
biasanya memiliki kebijakan untuk tidak membolehkan nasabah mengisi data
pribadi lewat e-mail. Jika menerima e-mail seperti ini, segera laporkan
kepada Bank yang bersangkutan.
- Waspada
jika menerima e-mail yang meminta Anda untuk melakukan transfer uang ke
rekening tertentu, dengan tujuan mendapatkan hadiah undian dari Bank
tertentu. Sebaiknya cari keterangan lengkap dengan cara menghubungi
langsung Bank yang bersangkutan.
- Sebaiknya
secara rutin mengganti password atau PIN agar tidak mudah dicuri.
- Tiap
kali masuk halaman website, perhatikan dengan seksama isi dan alamatnya.
Usahakan kenali alamat website asli dari bank yang diajak bertransaksi.
Jangan terpancing oleh keberadaan logo bank di website tersebut, karena
logo bank mudah dicopy. Cara yang terbaik adalah menghubungi langsung bank
yang bersangkutan untuk mengecek kebenaran website tersebut agar Anda
tidak tertipu.
- Waspada
jika Anda menerima e-mail yang meminta PIN Anda. Pada umumnya, Bank tidak
meminta PIN nasabah dengan alasan apapun. Sebaiknya cari keterangan
lengkap dengan cara langsung menghubungi Bank yang bersangkutan.
Penegakan hukum :
Ketentuan hukum yang mengatur tentang phising sampai saat ini belum ada, tetapi
tidak berarti perbuatan tersebut dapat dibiarkan begitu saja. Perbuatan
penipuan dengan modus Phising tetap dapat dijerat dengan berbagai peraturan
yang ada, diantaranya UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) No. 11
Tahun 2008.Perbuatan penipuan tersebut memenuhi unsur pidana pasal 28 ayat 1,
dan pasal 35.Berikut petikan isi pasal-pasal tersebut.
Pasal 28 ayat 1
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan
menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik.
Pasal 35
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan
manipulasi, penciptaan, perubahan, penghilangan, pengrusakan Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik dengan tujuan agar Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik tersebut dianggap seolah-olah data yang otentik.
Tindakan penipuan oleh pelaku phising jelas dilakukan dengan cara menyebarkan
berita bohong dan menyesatkan sehingga konsumen (nasabah bank) menderita
kerugian dalam transaksi elektronik perbankan. Dalam menjalankan aksinya,
pelaku phising menciptakan informasi elektronik seperti mengirim pesan dalam
bentuk e-mail ke para nasabah yang seolah-olah asli (otentik) dari bank yang
resmi.
Bagi pelaku phising akan dikenai pidana penjara sesuai unsur pidana yang
terpenuhi yang tercantum dalam pasal 45 ayat 2 untuk pasal 28 ayat 1, pasal 51
ayat 1 untuk pasal 35. Berikut petikan isi pasal tersebut.
Pasal 45 ayat 2
Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat
(1) atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 51 ayat 1
Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35
dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda
paling banyak Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah).
Kemajuan Teknologi
Informasi dan Komunikasi (TIK) dan pemanfaatannya dalam berbagai bidang
kehidupan menandai perubahan peradaban manusia menuju masyarakat
informasi.Internet adalah produk TIK yang memudahkan setiap orang memperoleh
dan menyebarkan informasi dengan cepat, murah dan menjangkau wilayah yang
sangat luas.Pemanfaatan Internet tidak hanya membawa dampak positif, tapi juga
dampak negatif.Salah satu dampak negatif dari pemanfaatan internet adalah
penyebaran informasi bermuatan pornografi yang menjadi perhatian serius dari
Pemerintah di berbagai Negara termasuk Indonesia.
Pemerintah Cina pada tahun 2007 secara serius mengambil tindakan tegas dengan
memberantas penyebarluasan pornografi di Internet.Pemerintah Cina mengganggap
masalah Pornografi merupakan masalah sosial yang perlu ditangani secara serius
karena memicu berbagai tindak kriminal yang marak terjadi. Sikap Pemerintah
Cina bukan hanya isapan jempol, sekitar 44.000 situs porno berhasil ditutup,
menahan sekitar 868 orang dan memproses 524 kasus krimimal berkaitan pornografi
di Internet. Dengan dibantu tenaga ahli komputer, Cina mampu menyensor isi
situs di internet, dan memblokir akses situs porno dari luar negeri.Demikian
pula, Pemerintah Singapura tidak ingin bermain-main dengan soal pornografi
dengan keras menindak para pelaku penyebaran pornografi terutama foto-foto
bugil dan memblokir akses situs porno. Bahkan, produk pornografi dalam kemasan
VCD termasuk majalah PlayBoy tidak akan dijumpai pada toko-tokodiSingapura.
Bagaimana di Indonesia? Sudah banyak peraturan perundang-undangan yang memuat
larangan penyebaran pornografi, diantaranya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999
tentang Pers, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran,
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Peraturan
perundang-undangan tersebut dianggap kurang memadai dan belum memenuhi
kebutuhan hukum untuk memberantas pornografi secara efektif. Oleh karena itu,
sejak tahun 2006 telah bergulir pembahasan Rancangan Undang-Undang Anti
Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP) di Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia. Dalam perjalanannya, RUU APP berganti menjadi RUU Pornografi dan
pada tanggal 30 Oktober 2008, DPR RI mengesahkan UU Pornografi melalui Sidang
Paripurna.
Pro dan Kontra mewarnai sebelum dan sesudah lahirnya UU Pornografi terhadap
beberapa hal seperti batasan pornografi, sanksi pidana, dan peran serta
masyarakat. Meskipun demikian, Pemerintah dan DPR RI menyadari sepenuhnya bahwa
Indonesia perlu segera memiliki UU Pornografi dengan pertimbangan bahwa
pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi dipandang sudah semakin
luas dan dapat mengancam kehidupan sosial masyarakat. Kita masih ingat berbagai
tindak kriminal terjadi di tengah masyarakat seperti pemerkosaan dan pelecehan
seksual dimana si pelaku terdorong melakukannya setelah menonton film porno di internet,
kasus maraknya penyebaran foto bugil di internet dari hasil rekayasa foto,
kasus jual-beli VCD Porno yang melibatkan orang dewasa maupun anak-anak, dan
masih banyak kasus lainnya. Dengan lahirnya UU Pornografi dimaksudkan untuk
segera mencegah berkembangnya pornografi dan komersialisasi seks di masyarakat,
dan memberikan kepastian hukum dan perlindungan bagi warga negara dari
pornografi, terutama bagi anak dan perempuan.
Memang disadari bahwa kemajuan teknologi ternyata memberikan ruang bagi penyebaran
pornografi, sebut saja penggunaan komputer untuk menggandakan file-file
bermuatan pornografi ke dalam VCD, kemudian dijual atau disewakan kepada orang
yang berminat.Internet yang sering digunakan untuk transaksi dagang, penyebaran
ilmu pengetahuan, penyebaran berita, ternyata dapat pula dimanfaatkan untuk
menyebarluaskan pornografi dalam bentuk informasi elektronik berupa gambar,
foto, kartun, gambar bergerak, dan bentuk lainnya.
Menurut peneliti LIPI, Romi Satria Wahono: setiap detiknya terdapat 28258 orang
melihat situs porno, setiap detiknya 372 pengguna Internet mengetikkan kata
kunci tertentu di situs pencari untuk mencari konten pornografi, dan jumlah
halaman situs pornografi di dunia mencapai 420 juta. Data tersebut memang
sangat mengejutkan kita karena penyebaran pornografi di internet sangat cepat,
apalagi di masa akan datang. Oleh karena itu, perlu komitmen yang serius dari
Pemerintah dan dukungan dari masyarakat untuk melakukan langkah yang tegas dan
efektif dalam mencegah dan memberantas pembuatan, penyebaran, dan penggunaan
produk pornografi.
Untuk mencegah dan memberantas penyebaran pornografi lewat komputer dan
internet, Indonesia telah memiliki peraturan perundang-undangan yang memuat
larangan penyebaran pornografi dalam bentuk informasi elektronik yakni UU No.
11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Pada pasal
27 ayat 1 berbunyi ”Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan
dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan”.
Sanksi pidana akan dikenakan bagi setiap orang yang melakukan perbuatan seperti
dinyatakan dalam pasal 27 ayat 1 yakni pidana penjara paling lama 6 (enam)
tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Dengan berlakunya UU Pornografi, UU ITE dan peraturan perundangan-undangan yang
memuat larangan pornografi tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan UU
Pornografi.Hal ini telah ditegaskan dalam Pasal 44 UU Pornografi.
KepemilikanProdukPornografi
UU Pornografi menjerat bagi setiap orang yang memiliki atau menyimpan produk
pornografi (kecuali untuk kepentingan pribadi) .Ketentuan tentang larangan
kepemilikan produk pornografi dinyatakan dalam pasal 6 bahwa Setiap orang
dilarang memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau
menyimpan produk pornografi kecuali diberi kewenangan oleh perundang-undangan.
Yang dimaksud “diberi kewenangan oleh perundang-undangan” misalnya lembaga
sensor film, lembaga pengawasan penyiaran, lembaga penegak hukum, lembaga
pelayanan kesehatan dan lembaga pendidikan.
Selanjutnya, Pasal 43 memerintahkan kepada setiap orang yang menyimpan atau
memiliki produk pornografi untuk memusnahkan sendiri atau menyerahkan kepada
pihak yang berwajib untuk dimusnahkan dalam waktu paling lama 1 bulan sejak UU
Pornografi berlaku. Pemusnahan yang dimaksud seperti menghapus semua file
komputer bermuatan pornografi yang tersimpan di CD, Harddisk, Flash disk atau
media penyimpanan lainnya. Tentu, bagi orang yang masih menyimpan produk
pornografi akan terkena sanksi pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau
denda paling banyak 2 miliar rupiah.
Memproduksi, membuat dan menyebarluaskan Pornografi
Bagi orang yang memiliki website yang menyajikan cerita porno, foto bugil, film
porno, dan berbagai informasi bermuatan pornografi akan dijerat dengan pasal 4
ayat 1 UU Pornografi dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan
paling lama 12 (duabelas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit
Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak
Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah). Bandingkan dengan sanksi pidana dalam
UU ITE, terhadap setiap orang yang menyebarkan informasi pornografi (pasal 27
ayat 1) dikenai pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Tampaknya, sanksi pidana dalam
UU Pornografi lebih berat.Yang dimaksud dengan "membuat" dalam Pasal
4 tidak termasuk untuk dirinya sendiri dan kepentingan sendiri.Dengan demikian,
seseorang yang membuat produk pornografi untuk kepentingan sendiri/pribadi
tidak dapat dijerat dengan pasal-pasal dalam UU Pornografi.
Pasal 27 ayat 1 UU ITE menggunakan kata ’dapat diaksesnya’, yang berarti setiap
orang dengan sengaja dan tanpa hak membuat dapat diaksesnya informasi
elektronik bermuatan pornografi atau pelanggaran kesusilaan akan terkena sanksi
pidana. Contoh, Seseorang memiliki website. Bila di dalam website itu terdapat
link (hubungan) ke website lain yang memuat gambar porno maka orang itu dapat dituduh
ikut menyebarluaskan pornografi atau mengarahkan orang lain mengakses situs
porno. Contoh yang lain, perbuatan seseorang mengirimkan pesan lewat email
kepada orang lain dan memberitahu keberadaan situs porno yang dapat diakses.
Perbuatan orang itu juga termasuk perbuatan menyebarluaskan pornografi yang
dilarang dalam UU ITE.
Dalam UU ITE, diatur pula larangan mengubah atau memanipulasi informasi
elektronik sehingga seolah-olah tampak asli. Kita sering mendengar dan melihat
berita tentang tindak kriminal dari pelaku rekayasa foto seperti foto artis,
pejabat, atau orang lain yang diubah dari tidak bugil menjadi bugil
(seolah-olah foto asli). Kegiatan merekayasa foto tersebut termasuk perbuatan
yang dilarang dalam UU ITE terkait dengan pasal 35 yaitu setiap orang dengan
sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan manipulasi informasi
elektronik sehingga dianggap seolah-olah data yang otentik.Bagi si pelaku
dikenai sanksi pidana dengan pidana penjara paling lama 12 (duabelas) tahun
dan/atau denda paling banyak 12 (duabelas) miliar rupiah.
Mengunduh, Memperbanyak, menggandakan, memperjualbelikan, menyewakan
Pornografi
Kegiatan seperti mengcopy file Pornografi ke CD atau media penyimpanan yang
lain, lalu menyewakan atau menjualnya merupakan perbuatan yang melanggar Pasal
4 ayat 1 UU Pornografi, bagi si pelaku dikenakan pidana penjara paling singkat
6 (enam) bulan dan paling lama 12 (duabelas) tahun dan/atau pidana denda paling
sedikit Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak
Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).
Kegiatan seseorang untuk memfasilitasi pembuatan, penggandaan, penyebarluasan,
penjualan, penyewaan, penggunaan produk pornografi merupakan kegiatan yang
dilarang dalam pasal 7 UU Pornografi. Bagi pelaku yang melanggar pasal 7
dikenai pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 15 (lima
belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu
miliar rupiah) dan paling banyak Rp7.500.000.000,00 (tujuh miliar lima ratus
juta rupiah). Bandingkan dengan UU ITE, Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa
hak atau melawan hukum mengadakan atau menyediakan perangkat keras atau
perangkat lunak Komputer yang digunakan untuk memfasilitasi perbuatan
penyebarluasan pornografi merupakan perbuatan yang dilarang dalam pasal 34 ayat
1 UU ITE. Bagi pelaku akan dikenai pidana penjara paling lama 10 (sepuluh)
tahun dan/atau denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
Perbuatan itu termasuk keterlibatan seseorang menyediakan fasilitas berupa
perangkat keras komputer untuk menggandakan atau memperbanyak file-file
pornografi dalam CD atau media penyimpanan yang lain agar dapat disebarluaskan.
Setiap orang yang memiliki produk pornografi mendapatkannya dengan cara
membeli, memperoleh secara gratis, atau mengunduh dari internet. Mengunduh
adalah kegiatan mengalihkan atau mengambil file dari sistem teknologi informasi
dan komunikasi. Kegiatan mengunduh sering dilakukan di internet, seperti
mengunduh artikel ilmiah, berita, cerita humor, dan informasi lainnya.Tapi,
mengunduh pornografi merupakan perbuatan yang dilarang pada pasal 5 UU
Pornografi.Setiap orang yang mengunduh pornografi dikenai pidana penjara paling
lama 4 (empat) tahun atau denda paling banyak 2 miliar rupiah.Pemerintah telah
berupaya untuk melakukan pemblokiran terhadap akses situs porno agar tidak
dapat diunduh dengan menyediakan software antipornografi.Meskipun demikian,
situs porno di internet bertambah jumlahnya setiap saat, sehingga penggunaan
software antipornografi perlu dibarengi dengan upaya yang lain, misalnya
memberdayakan peran orang tua untuk mengawasi dan memberi penjelasan kepada
anak-anak untuk tidak mengunduh pornografi lewat internet atau media lainnya.
Pencegahan Pornografi dengan Peran Serta Masyarakat dan Pemerintah
UU Pornografi tidak hanya memuat pasal-pasal larangan tetapi memuat pula peran
serta masyarakat dan pemerintah untuk mencegah penyebarluasan pornografi.Pasal
15 dikatakan “Setiap orang berkewajiban melindungi anak dari pengaruh
pornografi dan mencegah akses anak terhadap pornografi”.Selanjutnya, dalam
ketentuan umum pada Pasal 1 yang dimaksud dengan Anak adalah seseorang yang
belum berusia 18 (delapan belas) tahun. Untuk usia di bawah 18 tahun, akses
pornografi oleh anak-anak kemungkinan dilakukan lewat Internet, dan tempat yang
mudah dijangkau adalah Warnet. Bagi pemilik dan pengelola warnet berkewajiban
mengawasi dan mencegah akses pornografi lewat internet, misalnya mengatur
posisi komputer agar menyulitkan pengunjung warnet untuk mengakses situs porno,
menggunakan software antipornografi,danupayalainnya.
Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib melakukan pencegahan pembuatan,
penyebarluasan, dan penggunaan pornografi dengan cara melakukan pemutusan
jaringan pembuatan dan penyebarluasan produk pornografi atau jasa pornografi,
termasuk pemblokiran melalui internet. Pemerintah daerah berwenang
mengembangkan edukasi misalnya penyuluhan ke sekolah-sekolah tentang bahaya dan
dampak pornografi.Masyarakat diharapkan dapat ikut berperan serta untuk mencegah
penyebarluasan pornografi dengan melaporkan pelanggaran, melakukan sosialisasi
kepada masyarakat tentang pornografi dan upaya pencegahannya.Peran serta
masyarakat harus sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku, maksudnya
masyarakat tidak boleh melakukan tindakan main hakim sendiri, tindakan
kekerasan, razia (sweeping), atau tindakan melawan hukum lainnya, hal ini
ditegaskan dalam Bagian Penjelasan UU Pornografi.
Pencegahan dan Pemberantasan Pornografi oleh Aparat Penegak Hukum
Untuk melaksanakan UU Pornografi, Aparat Penegak Hukum memiliki kewenangan
untuk mencegah dan memberantas penyebaran produk pornografi.Berbagai upaya
dapat dilakukan diantaranya melakukan razia (sweeping) di berbagai tempat
termasuk pengguna komputer untuk memeriksa keberadaan produk pornografi,
menindak para pembuat website pornografi, melakukan penyuluhan tentang bahaya
pornografi dan sanksi pidana. Kewenangan Aparat tersebut dipertegas dalam Pasal
25 UU Pornografi tentang penyidikan bahwa penyidik berwenang membuka akses, memeriksa
file komputer, jaringan internet, media optik, serta bentuk penyimpanan data
elektronik lainnya. Pemilik data atau penyimpan data atau penyedia jasa layanan
elektronik wajib menyerahkan atau membuka data elektornik yang diminta oleh
Penyidik.
Somasi dari Sony Corp
kepada pengelola Sony-AK.com yakni Sony Arianto Kurniawan tentang kemiripan
nama domain Sony-AK.Com dengan merek “Sony” terjadi beberapa saat yang lalu.
Sebagai perusahaan raksasa di dunia, Sony Corp telah berkiprah lama sehingga
produknya dikenal banyak orang di dunia.Sony Corp tentu ingin menjaga citra
merek “Sony”. Oleh karena itu, ketika ada nama domain yang mirip dengan merek
“Sony” dan membahas seputar Teknologi Informasi apalagi menjadi Knowlegde
Center dianggap dapat menimbulkan persepsi yang keliru bagi pengunjung internet
sebagai bagian situs resmi dari Sony Corp, padahal kenyataannya tidak demikian.
Ditinjau dari nama domain “Sony-AK.com” memang dapat menimbulkan persepsi yang
keliru karena AK merupakan singkatan yang dapat memiliki kepanjangan yang
dipersepsikan berbeda oleh pengunjung situs itu, mungkin ada pengunjung yang
menganggap AK adalah singkatan nama suatu negara. Hal ini tidak akan
menimbulkan persepsi yang keliru bila nama domain yang digunakan seperti
“Sony-Ari-Kur.com”
Dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik telah diatur mengenai kepemilikan nama domain dan penggunaannya. Dalam
Pasal 23 dinyatakan bahwa:
- Setiap
penyelenggara negara, Orang, Badan Usaha, dan/atau masyarakat berhak
memiliki Nama Domain berdasarkan prinsip pendaftar pertama.
- Pemilikan
dan penggunaan Nama Domain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
didasarkan pada iktikad baik, tidak melanggar prinsip persaingan usaha
secara sehat, dan tidak melanggar hak Orang lain.
- Setiap
penyelenggara negara, Orang, Badan Usaha, atau masyarakat yang dirugikan
karena penggunaan Nama Domain secara tanpa hak oleh Orang lain, berhak
mengajukan gugatan pembatalan Nama Domain dimaksud.
Dalam Pasal 23 ayat (2) secara tegas dinyatakan
bahwa pemilikan dan penggunaan Nama Domain harus didasarkan iktikad baik. Hal
ini berarti bahwa kemiripan nama domain bukan satu-satunya ukuran untuk
men-klaim bahwa terjadi suatu pelanggaran hukum, tetapi harus dilihat pula
bagaimana penggunaan nama domain tersebut. Penggunaan nama domain bertitik
tolak pada isi atau content yang dimuat dalam nama domain tersebut. Apakah
content-nya dapat memperlemah tingkat pencitraan suatu merek produk tertentu?
Meskipun suatu nama domain yang menyerupai nama merek produk tertentu tidak
berisikan content yang menjelekkan merek tersebut, tetapi perlu diperhatikan
pula seberapa tingkat pencitraan baik suatu merek dipengaruhi oleh isi suatu
nama domain? Ketika pencitraan yang dimunculkan tidak memenuhi standar
pencitraan dari perusahaan merek tersebut tentu akan mempengaruhi penjualan
produknya di pasaran. Pencitraan merek merupakan salah satu strategi dalam
meraih keunggulan kompetitif.
Langkah yang tepat sudah dilakukan oleh pengelola Sony-AK.com dengan menjawab
somasi pihak Sony Corp seperti dikutip dalam situs detikinet.com:
Saya sudah menerima e-mail mengenai keberatan pengunaan nama domain
sony-ak.com. Sebelumnya saya ingin menyampaikan beberapa poin mengenai domain
tersebut.
- Domain sony-ak.com saya
daftarkan karena berawal dari nama saya "sony" dari Sony nama
depan saya, "-ak" merupakan singkatan dari nama belakang saya
"Arianto Kurniawan".
- Domain tersebut sudah saya
daftarkan sejak July 28, 2003 (www.whois.sc/sony-ak.com)
- Saya mengisi sony-ak.com
dengan tulisan-tulisan saya pribadi, karena kompetensi saya di bidang IT
dan saya hobby menulis, dan saya suka knowledge sharing maka saya menulis
segala sesuatu mengenai IT pada domain tersebut.
- Situs sony-ak.com saya beri
label Sony AK Knowledge Center karena sebagai media knowledge sharing saya
pribadi dengan semua pembaca online di seluruh dunia
- Sony AK Knowledge Center
mengandung kata SONY tapi Sony AK Knowledge Center bukanlah MEREK.
- Sony AK Knowledge Center
tidak berbadan hukum dan saya juga tidak ada niat untuk membuat badan
hukum atas label tersebut.
- Sony AK Knowledge Center
juga bukan organisasi dan tidak mendapat profit apa-apa.
- Sony AK Knowledge Center
juga tidak berhubungan dengan produk-produk "SONY Corporation"
Jepang, walaupun di surat Anda menyebutkan bahwa usaha kelas 41 (seputar
pendidikan) mungkin bersinggungan dengan konten kita, tapi saya dari dalam
hati tidak ada niat sedikitpun untuk sengaja "mendompleng" nama
SONY Corporation.
- Saya juga tidak ada niat
untuk membuat bingung para audience dengan menanggapi
- Saya tidak melakukan promosi
apapun sejak situs ini berdiri tahun 2003, paling-paling semua berawal
dari internet dan masuk search engine.
Meskipun, Sony Arianto Kurniawan sebagai
pengelola Sony-AK.com telah memberikan jawaban atas keberatan Sony Corp
terhadap penggunaan nama domain Sony-AK.com, tetapi masih perlu dibarengi
dengan menjelaskan dalam situs Sony-AK.com mengenai bagaimana keterkaitannya
dengan Sony Corp agar pengunjung tidak memiliki persepsi yang keliru. Pengelola
Sony-AK.com telah menjelaskan dalam situsnya bahwa situs tersebut merupakan
personal blog saja yang berkaitan dengan nama pengelolanya “Sony Arianto
Kurniawan”, dan keberadaan Sony-AK.com tidak memiliki hubungan atau afiliasi
dengan Sony Corp (ditampilkan pada halaman depan situs). Pernyataan tersebut
sudah cukup menerangkan persoalan kemiripan antara Sony-AK.com dengan merek
“Sony”, dan penggunaan situs tersebut.
Pihak Sony Corp sepatutnya memberikan apresiasi
dan tanggapan yang positif atas itikad baik dari Sony Arianto Kurniawan untuk
menjawab somasi dan menjelaskan dalam situsnya. Pihak Sony Corp sepatutnya
memandang masalah ini sudah selesai dan Sony Arianto Kurniawan tidak perlu
menghentikan penggunaan nama domain “Sony-AK.com”, karena memang tidak memiliki
hubungan atau afiliasi dengan Sony Corp. Content dari situs Sony-AK.com tidak
mempengaruhi pencitraan merek "Sony".
Rancangan Peraturan
Menteri Komunikasi dan Informatika tentang Konten Multimedia yang telah disusun
oleh Depkominfo beberapa saat yang lalu sedang diuji publik dari tanggal 11
Februari 2010 s/d 19 Februari 2010 untuk mendapatkan masukan dari masyarakat agar
RPM tersebut lebih sempurna dan penerapannya dapat efektif.
Sebenarnya, RPM Konten
Multimedia merupakan pengaturan lebih lanjut atas Konten yang dilarang dalam UU
No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) meliputi
diantaranya perjudian, pornografi, penghinaan dan pencemaran nama baik, berita
bohong. RPM Konten Multimedia merupakan pengaturan secara teknis mengenai
tanggungjawab Penyelenggara jasa Multimedia dan peran Tim Konten Multimedia
dalam mengawasi dan melakukan tindakan terhadap konten yang dilarang.
Dalam UU ITE, khususnya
bab VII melarang Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan
dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan seperti melanggar kesusilaan,
perjudian, pemerasan dan/atau pengancaman, berita bohong. Frasa "Setiap
Orang" menunjukkan keberlakuannya baik terhadap Penyelenggara maupun
Pengguna jasa Multimedia.
RPM Konten Multimedia
dimaksudkan untuk melindungi kepentingan umum dari perbuatan orang lain yang
menyalahgunakan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik. Perlindungan
kepentingan umum tersebut dilakukan dengan cara meningkatkan tanggungjawab
Penyelenggara jasa Multimedia dan peran Tim Konten Multimedia, tanpa bermaksud
untuk meniadakan tanggungjawab Pengguna. Dalam Pasal 9 ayat 1 huruf c RPM
Konten Multimedia dinyatakan bahwa “keharusan bagi Pengguna untuk tunduk pada
hukum negara Republik Indonesia”. Hal ini berarti bahwa ketika Pengguna memuat
konten yang dilarang maka Pengguna akan dijerat dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku diantaranya UU ITE.
Dalam masa uji publik
RPM Konten Multimedia telah menuai banyak tanggapan dari berbagai kalangan
masyarakat.
Pasal 8 mewajibkan
Penyelenggara melakukan pemantauan konten dengan cara :
- membuat aturan penggunaan layanan;
- melakukan pemeriksaan mengenai kepatuhan Pengguna
terhadap aturan penggunaan layanan Penyelenggara;
- melakukan Penyaringan;
- menyediakan layanan Pelaporan dan/atau Pengaduan;
- menganalisa Konten Multimedia yang dilaporkan
dan/atau diadukan oleh Pengguna; dan
- menindaklanjuti hasil analisis atas Laporan dan/atau
Pengaduan dari suatu Konten Multimedia
Jadi, Penyelenggara
tidak memeriksa satu demi satu konten yang menuju ke pengguna, dan juga konten yang
berasal dari pengguna, tetapi memeriksa konten berdasarkan pelaporan dan/atau
pengaduan. Seseorang yang melaporkan ke Penyelenggara bahwa terdapat konten
yang dilarang yang dimuat oleh seorang pengguna, maka Penyelenggara wajib
menanggapi laporan tersebut dengan menganalisa konten tersebut, lalu
menindaklanjuti hasil analisis tersebut. Penyelenggara melakukan pemeriksaan
mengenai kepatuhan pengguna terhadap aturan penggunaan layanan penyelenggara
yang termuat dalam Pasal 9 ayat 1 (lihat sebelumnya di tanggapan 5).
Putusan Hakim yang
membebaskan Prita Mulyasari dari jeratan hukum atas pasal 27 ayat (3) UU ITE
dan pasal 310 dan 311 KUHP merupakan tindakan yang tepat. Benar, bahwa Prita
Mulyasari tidak memiliki niat untuk mencemarkan nama baik rumah sakit Omni
International dan para dokter yang merawatnya. Surat elektronik dari Prita
Mulyasari hanya merupakan keluh kesah atau curhat yang dikirimkan secara
terbatas kepada beberapa teman, dengan maksud agar mereka berhati-hati sehingga
tidak terjadi seperti apa yang menimpanya. Dengan demikian, perbuatan Prita
Mulyasari tidak memenuhi unsur pidana dalam Pasal 310 dan 311 KUHP.
Dalam putusan Mahkamah Konstitusi R.I Nomor 50/PUU-VI/2008 tentang judicial
review UU ITE No. 11 Tahun 2008 terhadap UUD 1945, salah satu pertimbangan
Mahkamah berbunyi “keberlakuan dan tafsir atas Pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak
dapat dipisahkan dari norma hukum pokok dalam Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP”.
Dengan demikian, karena perbuatan Prita Mulyasari tidak memenuhi unsur pidana
dalam Pasal 310 dan 311 KUHP, maka secara otomatis tidak memenuhi pula unsur
pidana dalam Pasal 27 ayat (3) jo pasal 45 ayat (1) UU ITE.
Meskipun, Hakim yang menyidangkan kasus Prita Mulyasari memutuskan: membebaskan
Prita Mulyasari dari jeratan hukum. Tapi, pendapat hakim yang mengatakan bahwa
:UU ITE digunakan dua tahun lagi (21 April 2010) karena itu PRITA tidak bisa
dijerat dengan UU ITE, apalagi UU ITE belum memiliki legalitas yang kuat karena
belum ada PP merupakan Pendapatyangtidakbenar.
UU ITE mulai berlaku sejak diundangkan yaitu 21 April 2008, bukan 21 April
2010.Hal ini telah ditegaskan dalam Pasal 54 ayat (1) UU ITE bahwa "Undang-Undang
ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan". Mengenai Peraturan Pemerintah
(PP), Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat(1) UU ITE mengenai larangan distribusi
informasi elektronik bermuatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik tidak
memerlukan PP, karena UU ITE tidak mengamanatkan untuk mengatur lebih lanjut
Pasal 27 ayat (3) UU ITE ke dalam PP.
UU ITE hanya mengamanatkan perlunya Peraturan Pemerintah untuk mengatur :
- Lembaga
sertifikasi keandalan
- Tanda tangan
elektronik
- Penyelenggaraan
sertifikasi elektronik
- Penyelenggaraan
sistem elektronik
- Penyelenggaraan
transaksi elektronik
- Penyelenggara
agen elektronik
- Pengelolaan
nama domain
- Tatacara
intersepsi
- Peran
pemerintah
Pasal
27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat (1) UU ITE mulai berlaku sejak diundangkan yaitu
21 April 2008 dan tidak memerlukan Peraturan Pemerintah (PP).
Keberlakuan dan tafsir
atas Pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak dapat dipisahkan dari norma hukum pokok
dalam Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP. Demikian salah satu pertimbangan Mahkamah
Konstitusi dalam putusan perkara No. 50/PUU-VI/2008 atas judicial review pasal
27 ayat (3) UU ITE terhadap UUD 1945. Mahkamah Konstitusi menyimpulkan bahwa
nama baik dan kehormatan seseorang patut dilindungi oleh hukum yang berlaku,
sehingga Pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak melanggar nilai-nilai demokrasi, hak
azasi manusia, dan prinsip-prinsip negara hukum. Pasal 27 ayat (3) UU ITE
adalah Konstitusional.
Bila dicermati isi Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat (1) UU ITE tampak
sederhana bila dibandingkan dengan pasal-pasal penghinaan dalam KUHP yang lebih
rinci. Oleh karena itu, penafsiran Pasal 27 ayat (3) UU ITE harus merujuk pada
pasal-pasal penghinaan dalam KUHP. Misalnya, dalam UU ITE tidak terdapat
pengertian tentang pencemaran nama baik. Dengan merujuk Pasal 310 ayat (1)
KUHP, pencemaran nama baik diartikan sebagai perbuatan menyerang kehormatan
atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal yang maksudnya terang
supaya hal itu diketahui umum.
Pasal 27 ayat (3) UU ITE
"Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan
dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen
elektronik yang bermuatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik"
Pasal 310 ayat (1) KUHP
Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan
sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam
karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana
denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
Rumusan Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat (1) UU ITE yang tampak sederhana
berbanding terbalik dengan sanksi pidana dan denda yang lebih berat
dibandingkan dengan sanksi pidana dan denda dalam pasal-pasal penghinaan KUHP.
Misalnya, seseorang yang terbukti dengan sengaja menyebarluaskan informasi
elektronik yang bermuatan pencemaran nama baik seperti yang dimaksudkan dalam
Pasal 27 ayat (3) UU ITE akan dijerat dengan Pasal 45 Ayat (1) UU ITE, sanksi pidana penjara maksimum 6 tahun dan/atau denda maksimum 1
milyar rupiah.
Pasal 45 UU ITE
(1) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Masih ada pasal lain dalam UU ITE yang terkait dengan pencemaran nama baik dan
memiliki sanksi pidana dan denda yang lebih berat lagi, perhatikan pasal 36 UU
ITE.
Pasal 36 UU ITE
"Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan
perbuatan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 27 sampai Pasal 34 yang
mengakibatkan kerugian bagi orang lain"
Misalnya, seseorang yang menyebarluaskan informasi elektronik yang bermuatan
penghinaan dan/atau pencemaran nama baik dan mengakibatkan kerugian bagi orang
lain akan dikenakan sanksi pidana penjara maksimum 12
tahun dan/atau denda maksimum 12 milyar rupiah (dinyatakan dalam Pasal
51 ayat 2)
Pasal 51
ayat (2) UU ITE
Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 36 dipidana dengan pidana
penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah).
Berdasarkan dari
pengamatan para pakar hukum dan politik UU ITE mempunyai sisi positif bagi
Indonesia.Misalnya memberikan peluang bagi bisnis baru bagi para wiraswastawan
di Indonesia karena penyelenggaraan sistem elektronik diwajibkan berbadan hukum
dan berdomisili di Indonesia.Otomatis jika dilihat dari segi ekonomi dapat
mendorong pertumbuhan ekonomi.Selain pajak yang dapat menambah penghasilan
negara juga menyerap tenaga kerja danmeninggkatkanpenghasilanpenduduk.
UU itu juga dapat mengantisipasi kemungkinan penyalahgunaan internet yang
merugikan, memberikan perlindungan hukum terhadap transaksi dan sistem
elektronik serta memberikan perlindungan hukum terhadap kegiatan ekonomi
misalnya transaksi dagang.Penyalahgunaan internet kerap kali terjadi seperti
pembobolan situs-situs tertentu milik pemerintah.Kegiatan ekonomi lewat
transaksi elektronik seperti bisnis lewat internet juga dapat meminimalisir adanya
penyalahgunaandanpenipuan.
UU itu juga memungkinkan kejahatan yang dilakukan oleh seseorang di luar
Indonesia dapat diadili.Selain itu, UU ITE juga membuka peluang kepada
pemerintah untuk mengadakan program pemberdayaan internet.Masih banyak daerah-daerah
di Indonesia yang kurang tersentuh adanya internet.Undang-undang ini juga
memberikan solusi untuk meminimalisir penyalahgunaan internet.Saat ini kemajuan
teknologi dan informasi berjalan dengan sangat cepat.
Adanya internet memungkinkan setiap orang
mudah untuk mengakses informasi dan bertransaksi dengan dunia luar.Bahkan
internet dapat menciptakan suatu jaringan komunikasi antar belahan dunia
sekalipun.Kemajuan teknologi ini tentunya mempunyai dampak positif dan dampak
negatif. Dampak positifnya antara lain mudahnya memperoleh informasi kapan pun
dan dimana pun, meningkatkan perdagangan dan pertumbuhan ekonomi, menciptakan
lapangan pekerjaan, dapat dimanfaatkan sebagai media pembelajaran dan sebagai
media yang memungkinkan siapapun untuk berpartisipasi di dalamnya untuk
keperluan apa pun dan lain-lain.
Namun Pemerintah Republik Indonesia
bersama dengan DPR rupanya telah mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan buruk
yang dapat ditimbulkan oleh internet. Maka setelah melalui proses pertimbangan,
pada 21 April 2008, diundangkanlah Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik yang lebih dikenal dengan UU ITE. Lalu
apakah maksud dan tujuan pemerintah dan DPR membentuk regulasi ini? Di dalam
pasal 3 UU ITE disebutkan bahwa Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi
Elektonik dilaksanakan berdasarkan asas kepastian hukum, manfaat,
kehati-hatian, iktikad baik dan kebebasan memilih teknologi atau netral
teknologi. Pasal 4 juga menyebutkan bahwa Pemanfaatan Teknologi Informasi dan
Elektronik dilaksanakan dengan tujuan untuk:
a. mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai bagian dari masyarakat informasi
dunia;
b. mengembangkan perdagangan dan
perekonomian nasional dalam rangka meningkatkan kesejahteraan
masyarakat;
c. meningkatkan efektivitas dan
efisiensi pelayanan publik;
d. membuka kesempatan seluas-luasnya
kepada setiap orang untuk memajukan pemikiran dan kemampuan di
bidang penggunaan dan pemanfaatan Teknologi Informasi seoptimal mungkin
dan bertanggung jawab; dan
e. memberikan rasa aman, keadilan,
dan kepastian hukum bagi pengguna dan penyelenggara Teknologi Informasi.
Demikianlah asas-asas dan tujuan
dibentuknya Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik atau yang lebih dikenal dengan UU ITE. Kiranya dapat
dipahami bersama dan dilaksanakan dengan iktikad baik. Untuk mengetahui lebih
lanjut, Anda dapat mendownload Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun
2008 Tentang InformasidanTransaksiElektronik
Adapun dampak positif dan negatifnya dari diberlakukannya UU ITE adalah sebagai
berikut:
Dampak Positif.
- Semua kegiatan pengajuan harga,
kontak kerja sama, penagihan berbasis elektronik dilindungi hukum. Semua
kiriman email ke klien yang terdokumentasi bisa menjadi bahan pertimbangan
hukum, bila suatu waktu terjadi masalah dalam proses kerja sama. Untuk
kita yang kerjanya di ranah maya, tentu ini memiliki nilai positif.
- Jika kita melakukan transaksi
perbankan (misalnya melalui Klik BCA) dan dirugikan karena (misalnya)
ketekan tombol submit 2 kali, dan ini tidak diantisipasi oleh
pengelola transaksi, maka kita berhak secara hukum menuntut pengelola
transaksi tersebut. Tuntutan ini juga bisa berlaku untuk mereka yang
menjadi merchant egold, PayPal, dsb.
- Bila ada perusahaan yang
mendaftarkan namadomain dengan maksud menjelekkan produk/merk/nama
tertentu, perusahaan tersebut bisa dituntut untuk membatalkan nama domain.
Makanya, kalau ada yang membuat namadomain pitrajelek.com atau
pitrabusuk.com, berhati-hatilah.
- Semua yang tertulis dalam
sebuah blog menjadi resmi hak cipta penulisnya dan dilindungi hak kekayaan
intelektualnya. Makanya, berhati-hatilah menulis dalam blog, karena
tulisan negatif yang merugikan pihak lain, juga ikut resmi menjadi hak
cipta penulisnya, dan itu bisa dituntut oleh pihak yang dirugikan.
- Bila ada yang melakukan
transaksi kartu kredit tanpa sepengetahuan pemilik kartu (alias carding),
secara jelas bisa dituntut melalui hukum.
- Hati-hati yang suka nge-hack
situs untuk mendapatkan database situs tersebut. Apalagi dengan
tujuan menggunakannya untuk transaksi ilegal, misal: menjual alamat email
tanpa sepengetahuan pemilik email. Hal ini juga berlaku untuk para pemilik
situs yang harus menjamin kerahasiaan anggotanya, dan tidak menjual database
tersebut ke pihak lain. Ini juga termasuk kasus jual-menjual database
pengguna telepon genggam ke bank untuk penawaran kartu kredit.
- Situs-situs phising secara
hukum dilarang.
Dampak Negatif
- Isi sebuah situs tidak boleh
ada muatan yang melanggar kesusilaan. Kesusilaan kan bersifat normatif.
Mungkin situs yang menampilkan foto-foto porno secara vulgar bisa jelas
dianggap melanggar kesusilaan. Namun, apakah situs-situs edukasi AIDS dan
alat-alat kesehatan yang juga ditujukan untuk orang dewasa dilarang? Lalu,
apakah forum-forum komunitas gay atau lesbian yang (hampir) tidak ada
pornonya juga dianggap melanggar kesusilaan? Lalu, apakah foto seorang
masyarakat Papua bugil yang ditampilkan dalam sebuah blog juga dianggap
melanggar kesusilaan?
- Kekhawatiran para penulis blog
dalam mengungkapkan pendapat. Karena UU ini, bisa jadi para blogger
semakin berhati-hati agar tidak menyinggung orang lain, menjelekkan produk
atau merk tertentu, membuat tautan referensi atau membahas situs-situs
yang dianggap ilegal oleh UU, dll. Kalau ketakutan menjadi semakin
berlebihan, bukanlah malah semakin mengekang kebebasan berpendapat?
- Seperti biasa, yang lebih
mengkhawatirkan bukan UU-nya, tapi lebih kepada pelaksanaannya. Semoga
saja UU ini tidak menjadi alat bagi aparat untuk melakukan investigasi berlebihan
sehingga menyentuh ranah pribadi. Karena seperti Pak Nuh bilang, UU ini
tidak akan menyentuh wilayah pribadi. Hanya menyentuh wilayah yang
bersifat publik. Itu kan kata Pak Nuh. Kata orang di bawahnya (yang
mungkin nggak mengerti konteks) bisa diinterpretasi macam-macam.