Sitti Nurbaya
Judul Buku : Siti Nurbaya
Judul Asli : Siti Nurbaya: Kasih tak sampai
Penulis : Malah Rusli
Penerbit : Balai Pustaka
Tahun Terbit : 1922
Ukuran : 291 (cetakan ke-45)hlm
Sitti Nurbaya menceritakan
cinta remaja antara Samsulbahri dan Sitti Nurbaya, yang hendak menjalin cinta
tetapi terpisah ketika Samsu dipaksa pergi ke Batavia. Belum lama kemudian, Nurbaya menawarkan
diri untuk menikah dengan Datuk Meringgih (yang kaya tapi kasar) sebagai cara
untuk ayahnya hidup bebas dari utang; Nurbaya kemudian dibunuh oleh Meringgih.
Pada akhir cerita Samsu, yang menjadi anggota tentara
kolonial Belanda, membunuh Meringgih dalam suatu revolusi lalu meninggal
akibat lukanya.Sitti Nurbaya: Kasih Tak
Sampai (sering
disingkat Sitti Nurbaya atau Siti Nurbaya; Ejaan Republik Sitti
Noerbaja) adalah sebuah novel Indonesia yang
ditulis oleh Marah Rusli. Novel ini diterbitkan
oleh Balai Pustaka,
penerbit nasional negeri Hindia Belanda,
pada tahun 1922. Penulisnya dipengaruhi oleh perselisihan antara kebudayaan Minangkabau dari Sumatera bagian barat dan
penjajah Belanda, yang sudah menguasai Indonesia sejak abad ke-17. Pengaruh
lain barangkali pengalaman buruk Rusli dengan keluarganya; setelah memilih
perempuanSunda untuk menjadi
istrinya, keluarganya menyuruh Rusli kembali ke Padang dan menikah dengan
perempuan Minang yang dipilihkan.
Ditulis dalam bahasa Melayu yang
baku dan termasuk teknik penceritaan tradisional seperti pantun, novel Sitti Nurbaya menyinggung
tema kolonialisme, kawin paksa, dan kemodernan. Novel yang disambut baik
pada saat penerbitan pertamanya ini sampai sekarang masih dipelajari di SMA-SMA se-Nusantara. Novel ini pernah
dibandingkan dengan Romeo dan Julia karya William
Shakespeare serta
legenda Cina Sampek Engtay.
Penulisan
Sitti Nurbaya ditulis oleh Marah Rusli, seorang Minang yang
berpendidikan Belanda dalam ilmu kedokteran hewan.
Pendidikan itu menyebabkan
Rusli menjadi semakin seperti orang Eropa. Dia meninggalkan beberapa tradisi
Minang, tetapi tidak dalam pandangannya bahwa wanita harus berpatut kepada
pria. Menurut Bakri Siregar,
seorang kritikus sastra Indonesia berlatar belakang Marxis, sifat Rusli
yang seperti orang Eropa itu mempengaruhi bagaimana budaya Belanda dijelaskan
dalam Sitti Nurbaya, serta
suatu adegan di mana kedua tokoh utama berciuman. A. Teeuw, seorang kritikus sastra
Indonesia asal Belanda dan guru besar di Universitas Indonesia, mencatat bahwa penggunaanpantun dalam novel
ini menunjukkan bahwa Rusli telah banyak dipengaruhi tradisi sastra lisan Minang,
dengan dialog yang berkepanjangan menunjukkan bahwa ada pengaruh dari tradisi musyawarah.
Kritikus sastra Indonesia Zuber Usman menunjukkan
bahwa ada pengalaman lain yang lebih bersifat pribadi yang telah mempengaruhi
penulisan Sitti Nurbaya serta tanggapan positif Rusli akan
kebudayaan Eropa dan kemodernan. Menurut Usman, setelah Rusli menyatakan bahwa
dia hendak mengawini seorang wanita Sunda, yang
menyebabkan kehebohan di keluarganya, dia disuruh kembali ke kota kelahirannya
dan dijodohkan dengan wanita Minang. Hal ini menyebabkan konflik antara Rusli
dan keluarganya.
Alur
Di Kota Padang pada awal
abad ke-20, Samsulbahri dan Sitti Nurbaya – anak dari bangsawan Sutan Mahmud
Syah dan Baginda Sulaiman – adalah tetangga dan teman kelas yang masih remaja.
Mereka mulai jatuh cinta, tetapi hanya bisa mengakui hal tersebut setelah Samsu
mengaku bahwa dia hendak ke kota Batavia (sekarang Jakarta) untuk
melanjutkan pendidikannya. Setelah menghabiskan waktu bersama di daerah
perbukitan, Samsu dan Nurbaya berciuman di depan rumah. Ketika ditangkap basah
oleh ayah Nurbaya serta para tetangga, Samsu dikejar dari Padang dan pergi ke
Batavia.
Sementara, Datuk Meringgih, yang iri atas kekayaan Sulaiman
dan mengkhawatirkan persaingan bisnis, berusaha untuk menjatuhkannya. Anak buah
Meringgih menghancurkan hak milik Sulaiman, yang membuatnya menjadi bangkrut
dan terpaksa meminjam uang dari Meringgih. Ketika Meringgih datang untuk minta
utang itu dilunasi, Nurbaya menawarkan diri sebagai istrinya, dengan syarat
utang ayahnya harus dianggap beres; Datuk Meringgih setuju.
Dalam suatu surat ke Samsu, Nurbaya menyatakan bahwa mereka
tidak dapat bersama lagi. Namun, setelah muak dengan watak Meringgih yang kasar
itu, Nurbaya melarikan diri ke Batavia supaya bisa bersama Samsu; mereka
akhirnya jatuh cinta kembali. Setelah dia menerima sepucuk surat yang
menyatakan bahwa ayahnya telah meninggal, Nurbaya kembali ke kota Padang, di
mana dia meninggal setelah makan kue yang ternyata telah diberi racun oleh anak
buah Meringgih. Setelah menerima kabar itu, Samsu berusaha bunuh diri di taman
umum, namun tak berhasil.
Sepuluh tahun kemudian, Meringgih memimpin suatu revolusi
melawan pemerintah Hindia Belanda sebagai protes atas kenaikan pajak. Dalam revolusi ini,
Samsu–yang ternyata menjadi prajurit di bawah pimpinan Belanda dan dikenal
dengan nama Letnan Mas–menemukan dan membunuh Meringgih, tetapi dia sendiri
terluka berat. Setelah bertemu dengan ayahnya dan memohon maaf, dia meninggal.
Sitti Nurbaya
Sitti Nurbaya (juga dieja Siti Nurbaya; disingkat menjadi Nurbaya) adalah salah satu protagonis utama. Menurut penulis cerpen dan kritikus sastra Indonesia Muhammad Balfas, Nurbaya merupakan tokoh yang dapat mengambil keputusan sendiri, sebagaimana terwujud ketika dia memutuskan untuk menikah Datuk Meringgih ketika Meringgih mengancam ayahnya, kesediaannya untuk mendorong Samsu, dan pelariannya dari Meringgih setelah ayahnya meninggal. Dia juga cukup mandiri untuk pergi ke Batavia sendiri untuk mencari Samsu. Tindakannya dianggap melanggar adat, dan ini akhirnya membuat dia diracuni. Kecantikannya, sehingga disebut "bunga Padang", dianggap sebagai wujud fisik dari hatinya yang baik dan beradab.
Sitti Nurbaya (juga dieja Siti Nurbaya; disingkat menjadi Nurbaya) adalah salah satu protagonis utama. Menurut penulis cerpen dan kritikus sastra Indonesia Muhammad Balfas, Nurbaya merupakan tokoh yang dapat mengambil keputusan sendiri, sebagaimana terwujud ketika dia memutuskan untuk menikah Datuk Meringgih ketika Meringgih mengancam ayahnya, kesediaannya untuk mendorong Samsu, dan pelariannya dari Meringgih setelah ayahnya meninggal. Dia juga cukup mandiri untuk pergi ke Batavia sendiri untuk mencari Samsu. Tindakannya dianggap melanggar adat, dan ini akhirnya membuat dia diracuni. Kecantikannya, sehingga disebut "bunga Padang", dianggap sebagai wujud fisik dari hatinya yang baik dan beradab.
Samsulbahri
Samsulbahri
(juga dieja Sjamsulbahri; disingkat menjadi Samsu) adalah protagonis pria utama.
Dia dinyatakan sebagai orang yang berkulit kuninglangsat,
dengan mata sehitam tinta; namun, dari jauh, dia dapat dikira orang Belanda.
Sifat fisik ini dijelaskan oleh Keith Foulcher, seorang dosen bahasa dan sastra
Indonesia di Universitas Sydney, sebagai wujud sifatnya
yang suka menjadi seperti orang Belanda. Penampilannya yang menarik juga dianggap
sebagai wujud sifatnya yang baik dan beradab.
Datuk Meringgih
Datuk
Meringgih adalah antagonis utama dari novel. Dia seorang pedagang yang
dibesarkan di keluarga yang miskin, lalu menjadi kaya setelah masuk ke dunia
kriminal. Balfas menyatakan bahwa dorongan utama Meringgih dalam cerita ialah
rasa iri dan keserakahan, sebab dia tidak dapat "menerima bahwa ada yang
lebih kaya daripada dia". Balfas beranggapan bahwa Meringgih
adalah tokoh yang "digambarkan dengan hitam dan putih, tetapi mampu untuk
menyebabkan konflik di sekitarnya". Menjelang akhir novel,
Meringgih menjadi "pejuang pasukan anti-kolonialis", didorong oleh
keserakahannya; menurut Foulcher, gerakan anti-kolonialis ini kemungkinan besar
bukanlah usaha untuk memasukkan komentar anti-Belanda.Gaya penulisan
Menurut Bakri Siregar, diksi dalam Sitti Nurbaya tidak mencerminkan gaya bahasa Marah Rusli sendiri, melainkan bahasa Melayu dengan "gaya Balai Pustaka", yang diwajibkan penerbit itu. Akibatnya, gaya Rusli yang dipengaruhi sastra lisan itu, yang sering mengabaikan perkembangan alur untuk menjelaskan sesuatu "menurut kesenangan dan selera hati [penulis]", dianggap kurang.
Sitti Nurbaya juga memuat berbagai pantun dan deskripsi klise, biarpun memang tidak sebanyak karya sastra Melayu lain. Pantun digunakan oleh Nurbaya dan Samsul untuk menjelaskan perasaan mereka, seperti di bawah ini:
Padang
Panjang dilingkari bukit,
bukit dilingkari kayu jati,
Kasih sayang bukan sedikit
dari mulut sampai ke hati.
Pesan utama dari novel disampaikan dengan dialog panjang
antara tokoh-tokoh dengan dikotomi moral, untuk menunjukkan alternatif dari
pendirian penulis dan, dengan demikian, "menunjukkan alasan yang jelas
mengapa penulis itu benar". Namun, pandangan yang "benar"
(punyua penulis) ditunjukkan dengan kedudukan sosial dan moral tokoh yang
mengajukan pandangan tersebut.Tema
Sitti Nurbaya cenderung dianggap mempunyai tema anti-pernikahan paksa, atau menjelaskan perselisihan antara nilai Timur dan Barat. Novel ini juga pernah dinyatakan sebagai suatu "monumen perjuangan pemuda-pemudi yang berpikiran panjang" melawan adat. Namun, menurut Balfas tidaklah adil apabila Sitti Nurbaya dianggap hanya sebuah cerita tentang kawin paksa, sebab hubungan antara Nurbaya dan Samsu dapat diterima masyarakat. Dia menegaskan bahwa novel ini merupakan perbandingan pandangan Barat dan tradisional terhadap pernikahan, yang dilengkapi dengan kritik sistem mas kawin dan poligami.
Cerita
Keluarga Rusli tidak menerima novel Sitti Nurbaya dengan baik. Dalam sepucuk surat,
ayahnya telah mengutuk Rusli, sehingga Rusli tidak pernah kembali ke Padang.
Novelnya yang berikutnya, Anak
dan Kemenakan (1958) bahkan
lebih kritis terhadap kekakuan generasi sebelumnya.Sampai setidaknya tahun 1930, Sitti Nurbaya merupakan salah satu karya Balai Pustaka yang paling populer, sering dipinjam dari perpustakaan. Setelah kemerdekaan Indonesia, Sitti Nurbayadiajarkan sebagai salah satu karya sastra Indonesia yang klasik; ini menyebabkan novel ini "lebih sering dibaca dalam bentuk sinopsis daripada teks asli oleh berbagai generasi siswa SMA". Sampai tahun 2008, buku ini sudah dicetak ulang 44 kali. Sitti Nurbaya sering dianggap salah satu karya sastra Indonesia yang paling penting, dengan cerita cintanya dibandingkan dengan Romeo dan Julia karya William Shakespeare dan legenda Cina Sampek Engtay. Beberapa kritikus Barat, misalkan Teeuw dan penulis A. H. Johns, menganggap novel ini sebagai novel Indonesia pertama. Azab dan Sengsara, yang diterbitkan pada tahun 1920, dianggap kurang berkembang dalam tema kawin paksa dan segi negatif adat. Teeuw menulis bahwa pesan moral dan sentimentalitas dalam Sitti Nurbaya terlalu berlebihan, seperti dalam Azab dan Sengsara. Namun, dia beranggapan bahwa alur Sitti Nurbaya lebih menarik untuk pembaca dari latar belakang Barat daripada karya Merari Siregar itu. Menurut Siregar, Rusli bertindak sebagai dalang dalam novel ini, sehingga tokoh kadang-kadang dikesampingkan supaya penulis dapat menyatakan sesuatu secara langsung kepada pembaca. Dia juga beranggapan bahwa alur terasa terpaksa, seakan penulis menghalangi aliran cerita. Dia juga beranggapan bahwa Rusli telah menjadi juru bicara pemerintah kolonial, sebab Samsu, tokoh protagonis, menjadi prajurit Belanda dan Meringgih, tokoh antagonis, pemimpin kaum revolusioner; dia juga menyalahkan antipati Rusli terhadap agama Islam dalam novel. Sitti Nurbaya telah mengilhami berbagai penulis, termasuk Nur Sutan Iskandar, yang menyatakan bahwa dia menulis Apa Dayaku Karena Aku Perempuan (1924) sebagai akibat membaca novel Rusli itu; novelnya yang berikutnya, Cinta yang Membawa Maut (1926), juga mempunyai tema yang sama. Alur cerita Sitti Nurbaya sering didaur ulang, sehingga Balfas beranggap bahwa cerita yang mirip menggunakan "rumus 'Sitti Nurbaya'".
Adaptasi
Sitti Nurbaya sudah diterjemahkan dalam berbagai bahasa, termasuk bahasa Malaysia pada tahun 1963. Novel ini sudah dijadikan sinetron dua kali. Yang pertama, yang keluar pada tahun 1991, disutradarai Dedi Setiadi dan dibintangi Novia Kolopaking sebagai Nurbaya, Gusti Randa sebagai Samsu, dan HIM Damsyik sebagai Meringgih. Yang kedua, yang keluar pada Desember 2004, diproduseri MD Entertainment dan ditayangkan di Trans TV. Disutradarai oleh Encep Masduki dan dibintangi Nia Ramadhani sebagai Nurbaya, Ser Yozha Reza sebagai Samsu, dan Anwar Fuady sebagai Meringgih, sinetron ini memperkenalkan tokoh baru sebagai persaingan Nurbaya untuk cinta Samsu. Pada tahun 2009, Sitti Nurbaya menjadi salah satu dari delapan karya sastra Indonesia klasik yang dipilih oleh penyair Taufik Ismail untuk dicetak ulang dalam edisi khusus Indonesian Cultural Heritage Series; Sitti Nurbaya diberi sampul berdesain kain Minang. Artis Happy Salma dipilih sebagai ikon selebritis novel ini.
No comments:
Post a Comment