Undang-Undang Internet dan Transaksi Elektronik (UU
ITE) tentang e-commerce
Undang-undang Informasi dan
Transaksi Elektronik
adalah ketentuan yang berlaku untuk setiap orang yang melakukan
perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, baik yang berada di
wilayah hukum Indonesia maupun di luar wilayah hukum Indonesia, yang memiliki
akibat hukum di wilayah hukum Indonesia dan/atau di luar wilayah hukum
Indonesia dan merugikan kepentingan Indonesia.
Beberapa pasal dalam Undang-Undang
Internet dan Transaksi Elektronik (UU-ITE) yang berperan dalam e-commerce
adalah sebagai berikut :
Pasal 2
Undang-Undang ini berlaku untuk setiap Orang yang melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, baik yang berada di wilayah hukum Indonesia maupun di luar wilayah hukum Indonesia, yang memiliki akibat hukum di wilayah hukum Indonesia dan/atau di luar wilayah hukum Indonesia dan merugikan kepentingan Indonesia.
Pasal 2
Undang-Undang ini berlaku untuk setiap Orang yang melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, baik yang berada di wilayah hukum Indonesia maupun di luar wilayah hukum Indonesia, yang memiliki akibat hukum di wilayah hukum Indonesia dan/atau di luar wilayah hukum Indonesia dan merugikan kepentingan Indonesia.
Pasal
9
Pelaku usaha yang menawarkan produk melalui Sistem Elektronik harus menyediakan informasi yang lengkap dan benar berkaitan dengan syarat kontrak, produsen, dan produk yang ditawarkan.
Pelaku usaha yang menawarkan produk melalui Sistem Elektronik harus menyediakan informasi yang lengkap dan benar berkaitan dengan syarat kontrak, produsen, dan produk yang ditawarkan.
Pasal 10
Setiap pelaku usaha yang menyelenggarakan Transaksi Elektronik dapat disertifikasi oleh Lembaga Sertifikasi Keandalan.
Ketentuan mengenai pembentukan Lembaga Sertifikasi Keandalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Setiap pelaku usaha yang menyelenggarakan Transaksi Elektronik dapat disertifikasi oleh Lembaga Sertifikasi Keandalan.
Ketentuan mengenai pembentukan Lembaga Sertifikasi Keandalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 18
Transaksi Elektronik yang dituangkan ke dalam Kontrak Elektronik mengikat para pihak.
Para pihak memiliki kewenangan untuk memilih hukum yang berlaku bagi Transaksi Elektronik internasional yang dibuatnya.
Jika para pihak tidak melakukan pilihan hukum dalam Transaksi Elektronik internasional, hukum yang berlaku didasarkan pada asas Hukum Perdata Internasional.
Para pihak memiliki kewenangan untuk menetapkan forum pengadilan, arbitrase, atau lembaga penyelesaian sengketa alternatif lainnya yang berwenang menangani sengketa yang mungkin timbul dari Transaksi Elektronik internasional yang dibuatnya.
Jika para pihak tidak melakukan pilihan forum sebagaimana dimaksud pada ayat (4), penetapan kewenangan pengadilan, arbitrase, atau lembaga penyelesaian sengketa alternatif lainnya yang berwenang menangani sengketa yang mungkin timbul dari transaksi tersebut, didasarkan pada asas Hukum Perdata Internasional
Transaksi Elektronik yang dituangkan ke dalam Kontrak Elektronik mengikat para pihak.
Para pihak memiliki kewenangan untuk memilih hukum yang berlaku bagi Transaksi Elektronik internasional yang dibuatnya.
Jika para pihak tidak melakukan pilihan hukum dalam Transaksi Elektronik internasional, hukum yang berlaku didasarkan pada asas Hukum Perdata Internasional.
Para pihak memiliki kewenangan untuk menetapkan forum pengadilan, arbitrase, atau lembaga penyelesaian sengketa alternatif lainnya yang berwenang menangani sengketa yang mungkin timbul dari Transaksi Elektronik internasional yang dibuatnya.
Jika para pihak tidak melakukan pilihan forum sebagaimana dimaksud pada ayat (4), penetapan kewenangan pengadilan, arbitrase, atau lembaga penyelesaian sengketa alternatif lainnya yang berwenang menangani sengketa yang mungkin timbul dari transaksi tersebut, didasarkan pada asas Hukum Perdata Internasional
Pasal 20
Kecuali ditentukan lain oleh para pihak, Transaksi Elektronik terjadi pada saat penawaran transaksi yang dikirim Pengirim telah diterima dan disetujui Penerima.
Persetujuan atas penawaran Transaksi Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan dengan pernyataan penerimaan secara elektronik.
Kecuali ditentukan lain oleh para pihak, Transaksi Elektronik terjadi pada saat penawaran transaksi yang dikirim Pengirim telah diterima dan disetujui Penerima.
Persetujuan atas penawaran Transaksi Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan dengan pernyataan penerimaan secara elektronik.
Pasal 21
Pengirim atau Penerima dapat melakukan Transaksi Elektronik sendiri, melalui pihak yang dikuasakan olehnya, atau melalui Agen Elektronik.
Pihak yang bertanggung jawab atas segala akibat hukum dalam pelaksanaan Transaksi Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sebagai berikut:
jika dilakukan sendiri, segala akibat hukum dalam pelaksanaan Transaksi Elektronik menjadi tanggung jawab para pihak yang bertransaksi;
jika dilakukan melalui pemberian kuasa, segala akibat hukum dalam pelaksanaan Transaksi Elektronik menjadi tanggung jawab pemberi kuasa; atau jika dilakukan melalui Agen Elektronik, segala akibat hukum dalam pelaksanaan Transaksi Elektronik menjadi tanggung jawab penyelenggara Agen Elektronik.
Jika kerugian Transaksi Elektronik disebabkan gagal beroperasinya Agen Elektronik akibat tindakan pihak ketiga secara langsung terhadap Sistem Elektronik, segala akibat hukum menjadi tanggung jawab penyelenggara Agen Elektronik.
Jika kerugian Transaksi Elektronik disebabkan gagal beroperasinya Agen Elektronik akibat kelalaian pihak pengguna jasa layanan, segala akibat hukum menjadi tanggung jawab pengguna jasa layanan.
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku dalam hal dapat dibuktikan terjadinya keadaan memaksa, kesalahan, dan/atau kelalaian pihak pengguna Sistem Elektronik.
Pengirim atau Penerima dapat melakukan Transaksi Elektronik sendiri, melalui pihak yang dikuasakan olehnya, atau melalui Agen Elektronik.
Pihak yang bertanggung jawab atas segala akibat hukum dalam pelaksanaan Transaksi Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sebagai berikut:
jika dilakukan sendiri, segala akibat hukum dalam pelaksanaan Transaksi Elektronik menjadi tanggung jawab para pihak yang bertransaksi;
jika dilakukan melalui pemberian kuasa, segala akibat hukum dalam pelaksanaan Transaksi Elektronik menjadi tanggung jawab pemberi kuasa; atau jika dilakukan melalui Agen Elektronik, segala akibat hukum dalam pelaksanaan Transaksi Elektronik menjadi tanggung jawab penyelenggara Agen Elektronik.
Jika kerugian Transaksi Elektronik disebabkan gagal beroperasinya Agen Elektronik akibat tindakan pihak ketiga secara langsung terhadap Sistem Elektronik, segala akibat hukum menjadi tanggung jawab penyelenggara Agen Elektronik.
Jika kerugian Transaksi Elektronik disebabkan gagal beroperasinya Agen Elektronik akibat kelalaian pihak pengguna jasa layanan, segala akibat hukum menjadi tanggung jawab pengguna jasa layanan.
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku dalam hal dapat dibuktikan terjadinya keadaan memaksa, kesalahan, dan/atau kelalaian pihak pengguna Sistem Elektronik.
Pasal 22
Penyelenggara Agen Elektronik tertentu harus menyediakan fitur pada Agen Elektronik yang dioperasikannya yang memungkinkan penggunanya melakukan perubahan informasi yang masih dalam proses transaksi.
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggara Agen Elektronik tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Penyelenggara Agen Elektronik tertentu harus menyediakan fitur pada Agen Elektronik yang dioperasikannya yang memungkinkan penggunanya melakukan perubahan informasi yang masih dalam proses transaksi.
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggara Agen Elektronik tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 30
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik milik Orang lain dengan cara apa pun.
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik dengan cara apa pun dengan tujuan untuk memperoleh Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik.
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik dengan cara apa pun dengan melanggar, menerobos, melampaui, atau menjebol sistem pengamanan.
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik milik Orang lain dengan cara apa pun.
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik dengan cara apa pun dengan tujuan untuk memperoleh Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik.
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik dengan cara apa pun dengan melanggar, menerobos, melampaui, atau menjebol sistem pengamanan.
Pasal 46
Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp700.000.000,00 (tujuh ratus juta rupiah).
Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan/atau denda paling banyak Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).
Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp700.000.000,00 (tujuh ratus juta rupiah).
Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan/atau denda paling banyak Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).
Selain
mengacu kepada Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2008 Tentang Internet & Transaksi Elektronika di atas, ada
beberapa peraturan atau perundangan yang mengikat dan dapat dijadikan sebagai
payung hukum dalam kegiatan bisnis e-commerce, diantaranya adalah :
- Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana
- Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana
- Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata
- Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Perdata
- Kitab Undang-Undang Hukum
Dagang
- Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1997 Tentang Dokumen Perusahaan
- Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2000 Tentang Rahasia Dagang
- Undang-Undang Nomor 40 Tahun
2007 Tentang Perseroan Terbatas
- Undang-Undang Nomor 36 tahun
1999 Tentang Telekomunikasi
- Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
- Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
- Peraturan Pemerintah RI Nomor
48 Tahun 1998 Tentang Pendirian Perusahaan Perseroan dibidang Perbankan.
- Serta undang-undang dan
peraturan lainnya yang terkait dengan kejahatan e-commerce
Perbedaan Hacking dan Cracking
Hacking Adalah kegiatan memasuki system melalui system Operasional yg lain, yg dijalankan oleh Hacker.
Ada
berbagai macam system, misalnya Web, Server, Networking, Software dan
lain-lain, atau juga kombinasi dari beberapa system tersebut, tujuanya dari
seorang Hacking adalah untuk mencari hole atau bugs pada system yg dimasuki,
dalam arti untuk mencari titik keamanan system tersebut. Bila seorang Hacking
berhasil masuk pada system itu, maka Hacking tidak merusak data yg ada,
melainkan akan memperluas kegiatannya di system itu untuk menemukan hal yg
lain. Setelah itu akan memberitahukan kepada pembuat / pemilik dari system,
bahwa system yang dimiliki mempunyai bugs, hole, scratch dan lain-lain. Ini biasanya
bersifat legal.
Hacking merupakan sebuah penggunaan yang ilegal atau tidak sah terhadap sumber daya alam, dalam hal ini adalah komputer dan jaringan komputer. Istilah hacking sering dirujuk sebagai kejahatan komputer seperti pencurian identistas, penipuan kartu kredit, dan tindakan kejahatan komputer yang lainnya. Namun demikian, istiolah "Hack" juga digunakan untuk merujuk kepada sebuah modifikasi dari program komputer atau perangkat komputer yang lain untuk memberikan dan memudahkan akses pengguna ke fitur yang tidak tersedia.
Hack adalah kegiatan yang dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan data-data penting yang diinginkan dengan cara dan tujuan yang baik.
Hacking merupakan sebuah penggunaan yang ilegal atau tidak sah terhadap sumber daya alam, dalam hal ini adalah komputer dan jaringan komputer. Istilah hacking sering dirujuk sebagai kejahatan komputer seperti pencurian identistas, penipuan kartu kredit, dan tindakan kejahatan komputer yang lainnya. Namun demikian, istiolah "Hack" juga digunakan untuk merujuk kepada sebuah modifikasi dari program komputer atau perangkat komputer yang lain untuk memberikan dan memudahkan akses pengguna ke fitur yang tidak tersedia.
Hack adalah kegiatan yang dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan data-data penting yang diinginkan dengan cara dan tujuan yang baik.
Cracking
Prinsipnya sama dengan Hacking, namun tujuannya cenderung tidak baik. Pada
umumnya Cracker mempunyai kebiasaan merusak, mengambil data dan informasi
penting dan hal-hal lainnya yg tidak baik. Ringkas kata, kebalikannya dari
Hacker, ini bersifat ilegal.
Crack adalah kegiatan yang dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan data-data penting yang diinginkan dengan cara yang bersifat merusak, mencuri, serta merugikan orang lain.
Cracking adalah sebuah pemulihan pasword dari sebuah data yang telah tersimpan di dalam sebuah sistem kompoter. Banyak juga orang yang ingin mendapatkan akses ke sebuah sistem komputer dengan menggunakan software pasword cracking. Pasword cracking digunakan untuk mendapatkan sebuah akses ke bukti digital yang telah memungkinkan akses, namun akses tersebut dibatasi. Ada banyak jenis software untuk mengatasi ancaman dari Hacker, salah satunya adalah Zona Alarm. Zone Alarm di design untuk melindungi komputer PC, Laptop maupun Netbook dari ancaman hacker di internet. Software ini memiliki 4 fungsi keamanan yaitu:
Crack adalah kegiatan yang dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan data-data penting yang diinginkan dengan cara yang bersifat merusak, mencuri, serta merugikan orang lain.
Cracking adalah sebuah pemulihan pasword dari sebuah data yang telah tersimpan di dalam sebuah sistem kompoter. Banyak juga orang yang ingin mendapatkan akses ke sebuah sistem komputer dengan menggunakan software pasword cracking. Pasword cracking digunakan untuk mendapatkan sebuah akses ke bukti digital yang telah memungkinkan akses, namun akses tersebut dibatasi. Ada banyak jenis software untuk mengatasi ancaman dari Hacker, salah satunya adalah Zona Alarm. Zone Alarm di design untuk melindungi komputer PC, Laptop maupun Netbook dari ancaman hacker di internet. Software ini memiliki 4 fungsi keamanan yaitu:
1. Firewall
2. Application
Control
3. Anti Virus Monitoring
4. Email
Protection, dll
1. Firewall
Firewall pada zone alarm berfungsi
untuk mengendalikan akses masuk ke komputer anda dan meminta izin untuk
mengakses situs/web yang ingin anda kunjungi dengan demikian anda memiliki kesempatan
untuk cek web tersebut layak atau tidak dibuka, biasanya situs/web yang
mengandung pornografi, content dewasa, dll. Selain itu juga anda dapat mengatur
tingkat keamanan internet zona security dan trusted zona security
2. Aplication Control
Aplication Control berfungsi untuk
mengontrol program-program yang beroperasi membutuhkan akses internet seperti:
Internet Explorer, Mozilla, FTP, dll. Nah dengan bantuan fitur ini tentu
mengurangi resiko terhadap serangan/ancaman langsung dari hacker yang sedang
online.
3. Anti Virus Monitoring
Antivirus Monitoring berfungsi untuk memonitor status
dari ancaman virus yang masuk ke komputer anda baik online maupun offline
4. Email Protection
Dari namanya tentu anda tahu
fungsinya?, benar fungsi dari Email Protection adalah melindungi email dari
ancaman virus, malware, dll.
Salah satu contoh software keamanan
komputer yaitu BitDefender Internet Security 2009. BitDefender Internet
Security 2009 menjaga koneksi internet seluruh keluarga anda tanpa harus
menurunkan kinerja komputer anda. BitDefender mengunci viruses, hackers dan
spam, sementara secara bersamaan memberikan perlindungan firewall dan juga
memberikan pengawasan / kendali orang tua terhadap anak-2.
Dengan BitDefender anda bisa percaya
diri dalam download, share dan buka file dari teman-2, keluarga, co-workers dan
bahkan dari orang asing sekalipun.
- Scanning
semua web, traffic e-mail dan instant messaging, dari viruses dan spyware,
secara real-time.
- Secara
proaktif melindungi diri terhadap penyebaran virus baru menggunakan teknik
heuristic tingkat tinggi.
- Melindungi
identitas personal anda saat berbelanja online, transaksi perbankan,
mendengarkan, mengawasi secara private dan aman.
- Mem-blokir
usaha pencurian data identitas personal anda (phising)
- Mencegah
kebocoran informasi personal anda lewat e-mail, web atau instant
messaging
- Mengawali
percakapan anda dengan jalur inkripsi paling top.
- Inkripsi
instant messaging
- File
Vault secara aman menyimpan data personal atau data sensitive anda
- Koneksi
kepada jaringan secara aman, baik di rumah, di kantor, atau saat
travelling
- Secara
automatis memodifikasi proteksi setting firewall untuk menyesuaikan lokasi
- Monitor
Wi-fi membantu mencegah akses unauthorized kepada jaringan Wi-fi anda
- Melindungi
keluarga dan komputer mereka.
- Memblokir
akses website dan email yang tidak sepantasnya
- Menjadwal
dan membatasi akses anak-anak kepada internet dan applikasi
- Bermain
dengan aman dan smooth
- Mengurangi
beban system dan menghindari interaksi permintaan user selama game
- Mengguankan
system resources yang relative kecil
Ada banyak cara sebenarnya yang bisa
anda ambil untuk melindungi anda dari programmed threats, termasuk menggunakan
anti-virus software, selalu patches system, dan memberi pelajaran kepada user
bagaimana berinternet yang aman. Semua itu harus anda lakukan untuk melindungi
system anda. Kalau tidak maka anda akan menjadi korban. Sebenarnya sangat
banyak ancaman dari internet. Untuk itu agar anda yang sangat ingin melilndungi
asset informasi anda, baik data perusahaan yang sangat sensitive dan kritis –
bisa secara aman dimana saja dan kapanpun untuk ber internet ria – maka anda
bisa percayakan kepada BitDefender internet security yang secara proactive
melindungi komputer anda.
Undang-undang ITE RI tentang Hacking dan
Cracking
Indonesia telah memiliki undang-undang
khusus yang membahas tentang cybercrime, yaitu UU ITE (Informasi dan Transaksi
Elektronik). UU ITE mengatur berbagai perlindungan hukum atas kegiatan yang
memanfaatkan internet sebagai medianya, baik transaksi maupun pemanfaatan
informasinya. Pada UU ITE ini juga diatur berbagai ancaman hukuman bagi
kejahatan melalui internet.
UU
ITE mengakomodir kebutuhan para pelaku bisnis di internet dan masyarakat pada
umumnya guna mendapatkan kepastian hukum, dengan diakuinya bukti elektronik dan
tanda tangan digital sebagai bukti yang sah di pengadilan.Di dalam UU ITE
membahas masalah hacking terutama tentang akses ke komputer orang lain tanpa
izin. Hal tersebut diatur dalam pasar 30 dan pasal 46 mengenai hukuman yang
akan diterima. Berikut ini isi dari pasal tersebut:
Pasal
30
- Setiap
Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer
dan/atau Sistem Elektronik milik Orang lain dengan cara apa pun.
- Setiap
Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer
dan/atau Sistem Elektronik dengan cara apa pun dengan tujuan untuk
memperoleh Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik.
- Setiap
Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer
dan/atau Sistem Elektronik dengan cara apa pun dengan melanggar,
menerobos, melampaui, atau menjebol sistem pengamanan.
Pasal 46
- Setiap Orang yang memenuhi unsur
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp
600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
- Setiap
Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda
paling banyak Rp 700.000.000,00 (tujuh ratus juta rupiah). Setiap Orang
yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (3) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah)
Pengertian dalam undang-undang :
- Informasi
Elektronik
adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak
terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic
data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram,
teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol,
atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami
oleh orang yang mampu memahaminya.
- Transaksi
Elektronik
adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan Komputer,
jaringan Komputer, dan/atau media elektronik lainnya.
- Teknologi
Informasi
adalah suatu teknik untuk mengumpulkan, menyiapkan, menyimpan, memproses,
mengumumkan, menganalisis, dan/atau menyebarkan informasi.
- Dokumen
Elektronik
adalah setiap Informasi Elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan,
diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik,
optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau
didengar melalui Komputer atau Sistem Elektronik, termasuk tetapi tidak
terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau
sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol atau perforasi yang
memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu
memahaminya.
- Sistem
Elektronik
adalah serangkaian perangkat dan prosedur elektronik yang berfungsi
mempersiapkan, mengumpulkan, mengolah, menganalisis, menyimpan,
menampilkan, mengumumkan, mengirimkan, dan/atau menyebarkan Informasi
Elektronik.
- Penyelenggaraan
Sistem Elektronik adalah pemanfaatan Sistem Elektronik oleh
penyelenggara negara, Orang, Badan Usaha, dan/atau masyarakat.
- Jaringan
Sistem Elektronik adalah terhubungnya dua Sistem Elektronik atau
lebih, yang bersifat tertutup ataupun terbuka.
- Agen
Elektronik
adalah perangkat dari suatu Sistem Elektronik yang dibuat untuk melakukan
suatu tindakan terhadap suatu Informasi Elektronik tertentu secara
otomatis yang diselenggarakan oleh Orang.
- Sertifikat
Elektronik
adalah sertifikat yang bersifat elektronik yang memuat Tanda Tangan
Elektronik dan identitas yang menunjukkan status subjek hukum para pihak
dalam Transaksi Elektronik yang dikeluarkan oleh Penyelenggara Sertifikasi
Elektronik.
- Penyelenggara
Sertifikasi Elektronik adalah badan hukum yang berfungsi sebagai
pihak yang layak dipercaya, yang memberikan dan mengaudit Sertifikat
Elektronik.
- Lembaga
Sertifikasi Keandalan adalah lembaga independen yang dibentuk oleh
profesional yang diakui, disahkan, dan diawasi oleh Pemerintah dengan
kewenangan mengaudit dan mengeluarkan sertifikat keandalan dalam Transaksi
Elektronik.
- Tanda
Tangan Elektronik adalah tanda tangan yang terdiri atas
Informasi Elektronik yang dilekatkan, terasosiasi atau terkait dengan
Informasi Elektronik lainnya yang digunakan sebagai alat verifikasi dan
autentikasi.
- Penanda
Tangan
adalah subjek hukum yang terasosiasikan atau terkait dengan Tanda Tangan
Elektronik.
- Komputer adalah
alat untuk memproses data elektronik, magnetik, optik, atau sistem yang
melaksanakan fungsi logika, aritmatika, dan penyimpanan.
- Akses adalah
kegiatan melakukan interaksi dengan Sistem Elektronik yang berdiri sendiri
atau dalam jaringan.
- Kode
Akses
adalah angka, huruf, simbol, karakter lainnya atau kombinasi di antaranya,
yang merupakan kunci untuk dapat mengakses Komputer dan/atau Sistem
Elektronik lainnya.
- Kontrak
Elektronik
adalah perjanjian para pihak yang dibuat melalui Sistem Elektronik.
- Pengirim adalah
subjek hukum yang mengirimkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik.
- Penerima adalah
subjek hukum yang menerima Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik dari Pengirim.
- Nama
Domain
adalah alamat internet penyelenggara negara, Orang, Badan Usaha, dan/atau
masyarakat, yang dapat digunakan dalam berkomunikasi melalui internet,
yang berupa kode atau susunan karakter yang bersifat unik untuk
menunjukkan lokasi tertentu dalam internet.
- Orang adalah
orang perseorangan, baik warga negara Indonesia, warga negara asing,
maupun badan hukum.
- Badan
Usaha
adalah perusahaan perseorangan atau perusahaan persekutuan, baik yang
berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum.
- Pemerintah adalah
Menteri atau pejabat lainnya yang ditunjuk oleh Presiden.
Hal-hal yang diatur dalam UU ITE secara garis besar
Secara garis besar UU ITE mengatur
hal-hal sebagai berikut :
* Tanda tangan elektronik memiliki kekuatan hukum yang sama dengan tanda tangan konvensional (tinta basah dan bermaterai). Sesuai dengan e-ASEAN Framework Guidelines (pengakuan tanda tangan digital lintas batas).
* Alat bukti elektronik diakui seperti alat bukti lainnya yang diatur dalam KUHP.
* UU ITE berlaku untuk setiap orang yang melakukan perbuatan hukum, baik yang berada di wilayah Indonesia maupun di luar Indonesia yang memiliki akibat hukum di Indonesia.
* Pengaturan Nama domain dan Hak Kekayaan Intelektual.
* Perbuatan yang dilarang (cybercrime) dijelaskan pada Bab VII (pasal 27-37):
o Pasal 27 (Asusila, Perjudian, Penghinaan, Pemerasan)
o Pasal 28 (Berita Bohong dan Menyesatkan, Berita Kebencian dan Permusuhan)
o Pasal 29 (Ancaman Kekerasan dan Menakut-nakuti)
o Pasal 30 (Akses Komputer Pihak Lain Tanpa Izin, Cracking)
o Pasal 31 (Penyadapan, Perubahan, Penghilangan Informasi)
o Pasal 32 (Pemindahan, Perusakan dan Membuka Informasi Rahasia)
o Pasal 33 (Virus?, Membuat Sistem Tidak Bekerja (DOS?))
o Pasal 35 (Menjadikan Seolah Dokumen Otentik (phising?))
* Tanda tangan elektronik memiliki kekuatan hukum yang sama dengan tanda tangan konvensional (tinta basah dan bermaterai). Sesuai dengan e-ASEAN Framework Guidelines (pengakuan tanda tangan digital lintas batas).
* Alat bukti elektronik diakui seperti alat bukti lainnya yang diatur dalam KUHP.
* UU ITE berlaku untuk setiap orang yang melakukan perbuatan hukum, baik yang berada di wilayah Indonesia maupun di luar Indonesia yang memiliki akibat hukum di Indonesia.
* Pengaturan Nama domain dan Hak Kekayaan Intelektual.
* Perbuatan yang dilarang (cybercrime) dijelaskan pada Bab VII (pasal 27-37):
o Pasal 27 (Asusila, Perjudian, Penghinaan, Pemerasan)
o Pasal 28 (Berita Bohong dan Menyesatkan, Berita Kebencian dan Permusuhan)
o Pasal 29 (Ancaman Kekerasan dan Menakut-nakuti)
o Pasal 30 (Akses Komputer Pihak Lain Tanpa Izin, Cracking)
o Pasal 31 (Penyadapan, Perubahan, Penghilangan Informasi)
o Pasal 32 (Pemindahan, Perusakan dan Membuka Informasi Rahasia)
o Pasal 33 (Virus?, Membuat Sistem Tidak Bekerja (DOS?))
o Pasal 35 (Menjadikan Seolah Dokumen Otentik (phising?))
Pasal 45
(1) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(2) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) atau ayat (dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(1) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(2) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) atau ayat (dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Indonesia, warga Negara asing, maupun badan hukum”.
Keberadaan Badan Hukum diperjelas kembali dalam Pasal 52 ayat (4) UU ITE bahwa
Korporasi yang melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai
Pasal 37 UU ITE, termasuk menyebarkan informasi elektronik dan/atau dokumen
elektronik yang bermuatan illegal content
dikenakan pemberatan pidana pokok ditambah dua pertiga.
Peristiwa:
perbuatan penyebaran informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik seperti
dalam Pasal 27 sampai Pasal 29 harus memenuhi unsur:
a. Illegal Contentseperti
penghinaan, pencemaran nama baik, pelanggaran kesusilaan, berita bohong,
perjudian, pemerasan, pengancaman, menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan
individu, ancaman kekerasan atau menakut-nakuti secara pribadi
b. Dengan sengaja dan tanpa hak, yakni dimaksudkan bahwa pelaku
mengetahui dan menghendaki secara sadar tindakannya itu dilakukan tanpa
hak. Pelaku secara sadar mengetahui dan menghendaki bahwa perbuatan
“mendistribusikan” dan/atau “mentransmisikan” dan/atau “membuat dapat
diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik” adalah memiliki
muatan melanggar kesusilaan. Dan tindakannya tersebut dilakukannya tidak legitimate interest.
Perbuatan pelaku berkaitan illegal content dapat dikategorikan sebagai berikut:
a. Penyebaran
informasi elektronik yang bermuatan illegal
content
b. Membuat dapat
diakses informasi elektronik yang bermuatan illegal
content
c.
Memfasilitasi perbuatan penyebaran informasi elektronik, membuat dapat
diaksesnya informasi elektronik yang bermuatan illegal content (berkaitan dengan pasal 34 UU ITE)
"Di Muka Umum" bukan unsur dalam Penyebaran
Informasi Elektronik
Perbedaan pendapat soal
substansi Pasal 27 ayat (3) UU ITE. Ada pendapat bahwa penafsiran Pasal 27 ayat
(3) UU ITE berkaitan dengan Pasal 310 KUHPidana, yang mana unsur “di muka umum”
berlaku pula dalam penyebaran informasi elektronik bermuatan penghinaan
dan/atau pencemaran nama baik, misalnya informasi elektronik yang disebarkan
lewat email dikatakan tidak memenuhi unsur di muka umum karena sifatnya
tertutup antar individu. Sementara, pendapat lain bahwa unsur di muka umum
tidak dapat digunakan dalam penyebaran informasi elektronik karena kekhususan
penyebaran informasi elektronik: cepat, berbagai jalur (seperti email, web,
sms), dan jangkauan yang lebih luas, sehingga informasi elektronik yang
disebarkan lewat email tidak perlu dipersoalkan dan dikaitkan dengan unsur di
muka umum, dan UU ITE menjangkau semua jenis penyebaran informasi elektronik baik
tertutup (misalnya lewat email), ataupun terbuka (misalnya lewat website)
Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-VI/2008 atas Judicial Review Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat (1) UU No. 11 Tahun 2008, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa “penghinaan yang diatur dalam KUHP (penghinaan off line) tidak dapat menjangkau delik penghinaan dan pencemaran nama baik yang dilakukan di dunia siber (penghinaan on line) karena ada unsur “di muka umum”. Dapatkah perkataan unsur “diketahui umum”, “di muka umum”, dan “disiarkan” dalam Pasal 310 ayat (1) dan ayat (2) KUHP mencakup ekspresi dunia maya? Memasukkan dunia maya ke dalam pengertian “diketahui umum”, “di muka umum”, dan “disiarkan” sebagaimana dalam KUHP, secara harfiah kurang memadai, sehingga diperlukan rumusan khusus yang bersifat ekstensif yaitu kata “mendistribusikan” dan/atau “mentransmisikan” dan/atau “membuat dapat diakses” muatan pencemaran nama baik”.
Berdasarkan pendapat Mahkamah Konstitusi tersebut dapat disimpulkan bahwa unsur ‘di muka umum’ tidak menjadi unsur dalam penyebaran informasi elektronik. Dalam UU ITE telah diatur rumusan khusus yang bersifat ekstensif yaitu kata “mendistribusikan” dan/atau “mentransmisikan” dan/atau “membuat dapat diakses”. Ketiga istilah tersebut dapat dijelaskan pengertiannya sebagai berikut: Mendistribusikan adalah perbuatan menyebarluaskan informasi atau dokumen elektronik melalui media elektronik, seperti web, mailing list. Mentransmisikan adalah perbuatan mengirimkan, memancarkan, atau meneruskan informasi melalui perangkat telekomunikasi, seperti Handphone, Email.Membuat dapat Diakses adalah perbuatan memberi peluang suatu informasi atau dokumen elektronik dapat diakses oleh orang lain, seperti membuat link atau memberitahu password suatu sistem elektronik
Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-VI/2008 atas Judicial Review Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat (1) UU No. 11 Tahun 2008, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa “penghinaan yang diatur dalam KUHP (penghinaan off line) tidak dapat menjangkau delik penghinaan dan pencemaran nama baik yang dilakukan di dunia siber (penghinaan on line) karena ada unsur “di muka umum”. Dapatkah perkataan unsur “diketahui umum”, “di muka umum”, dan “disiarkan” dalam Pasal 310 ayat (1) dan ayat (2) KUHP mencakup ekspresi dunia maya? Memasukkan dunia maya ke dalam pengertian “diketahui umum”, “di muka umum”, dan “disiarkan” sebagaimana dalam KUHP, secara harfiah kurang memadai, sehingga diperlukan rumusan khusus yang bersifat ekstensif yaitu kata “mendistribusikan” dan/atau “mentransmisikan” dan/atau “membuat dapat diakses” muatan pencemaran nama baik”.
Berdasarkan pendapat Mahkamah Konstitusi tersebut dapat disimpulkan bahwa unsur ‘di muka umum’ tidak menjadi unsur dalam penyebaran informasi elektronik. Dalam UU ITE telah diatur rumusan khusus yang bersifat ekstensif yaitu kata “mendistribusikan” dan/atau “mentransmisikan” dan/atau “membuat dapat diakses”. Ketiga istilah tersebut dapat dijelaskan pengertiannya sebagai berikut: Mendistribusikan adalah perbuatan menyebarluaskan informasi atau dokumen elektronik melalui media elektronik, seperti web, mailing list. Mentransmisikan adalah perbuatan mengirimkan, memancarkan, atau meneruskan informasi melalui perangkat telekomunikasi, seperti Handphone, Email.Membuat dapat Diakses adalah perbuatan memberi peluang suatu informasi atau dokumen elektronik dapat diakses oleh orang lain, seperti membuat link atau memberitahu password suatu sistem elektronik
TanggungJawab Penyelenggaraan Sistem Elektronik
Apa yang dimaksud
dengan Sistem Elektronik? UU ITE tidak menggunakan istilah 'komputer' tetapi
menggunakan istilah 'sistem elektronik' untuk menunjukkan cakupan yang lebih
luas yakni segala peralatan elektronik dan prosedurnya yang berfungsi
mempersiapkan, mengumpulkan, mengolah, menganalisis, menyimpan, menampilkan,
mengumumkan, mengirimkan, dan/atau menyebarkan Informasi Elektronik. Peralatan
Handphone termasuk sistem elektronik karena fungsinya mempersiapkan,
mengumpulkan, mengolah, menganalisis, menyimpan, menampilkan, mengumumkan,
mengirimkan, dan/atau menyebarkan Informasi Elektronik misalnya berupa sms.
Siapa
Penyelenggara Sistem Elektronik? Berkaitan dengan istilah 'penyelenggaraan
sistem elektronik' yang tidak lain adalah penyelenggara negara, Orang, Badan
Usaha, dan/atau masyarakat yang memanfaatkan sistem elektronik misalnya untuk
pelayanan publik. Setiap penyelenggara negara, Orang, Badan Usaha, dan/atau
masyarakat yang memanfaatkan sistem elektronik harus tunduk pada ketentuan
dalam UU ITE, diantaranya tidak melakukan perbuatan menyebarkan informasi
elektronik yang dilarang, seperti pornografi, perjudian, berita bohong,
pengancaman. Bagi yang memanfaatkan sistem elektronik tidak melakukan perbuatan
tanpa hak seperti merusak sistem elektronik, memanipulasi informasi, menyadap
informasi milik orang lain. Bagi para pelaku yang melakukan perbuatan yang
dilarang akan dikenakan sanksi sesuai ketentuan dalam UU ITE.
Siapa
yang bertanggungjawab dalam Penyelenggaraan Sistem Elektronik?Setiap
penyelenggara bertanggungjawab terhadap sistem elektronik yang diselenggarakan,
kecuali berlaku dalam hal dapat dibuktikan terjadinya keadaan memaksa,
kesalahan, dan/atau kelalaian pihak pengguna Sistem Elektronik.Pihak Bank
bertanggungjawab terhadap sistem elektronik berupa ATM yang diselenggarakan.
Ketika ada hacker yang menyerang sistem elektronik itu sehingga transaksi
elektronik terganggu, maka pihak Bank bertanggungjawab untuk memulihkan kembali
sistem elektronik itu dan melaporkan ke pihak Kepolisian atas serangan tersebut,
sehingga Polisi dapat melakukan penyidikan untuk mencari bukti-bukti dan
pelakunya. Pihak Bank tidak bertanggungjawab dalam hal terjadi pada pengguna
sistem elektronik berupa situasi:
- keadaan
memaksa, misalnya pelaku kejahatan mengancam nasabah (pengguna) untuk
mengirimkan sejumlah uang lewat transaksi di atm ke rekening pelaku
- kesalahan,
misalnya nasabah (pengguna) mengirimkan uang ke rekening yang salah
tujuannya.
- kelalaian,
misalnya nasabah (pengguna) lalai menjaga PIN sehingga jatuh ke tangan orang
lain dan dapat digunakan untuk menarik atau mentransfer sejumlah uang.
Informasi
elektronik dan/atau dokumen elektronik dapat dijadikan sebagai alat bukti yang
sah sepanjang informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik itu berasal dari
sistem elektronik yang memenuhi ketentuan dalam UU ITE, yakni:
- dapat
menampilkan kembali Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik
secara utuh sesuai dengan masa retensi yang ditetapkan dengan Peraturan
Perundang-undangan;
- dapat
melindungi ketersediaan, keutuhan, keotentikan, kerahasiaan, dan
keteraksesan Informasi Elektronik dalam Penyelenggaraan Sistem Elektronik
tersebut;
- dapat
beroperasi sesuai dengan prosedur atau petunjuk dalam Penyelenggaraan
Sistem Elektronik tersebut;
- dilengkapi
dengan prosedur atau petunjuk yang diumumkan dengan bahasa, informasi,
atau simbol yang dapat dipahami oleh pihak yang bersangkutan dengan
Penyelenggaraan Sistem Elektronik tersebut; dan
- memiliki mekanisme yang berkelanjutan untuk menjaga kebaruan, kejelasan, dan kebertanggungjawaban prosedur atau petunjuk.
Bahasan di atas tentang TanggungJawab Penyelenggaraan Sistem Elektronik
merupakan Intisari dari kegiatan Bimbingan Teknis Undang-Undang Republik
Indonesia No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang berlangsung
di Banjarmasin, tgl 27 Juni 2011, yang terselenggara atas kerjasama Dinas
Perhubungan dan Informasi Propivinsi Kalimantan Selatan dan Direktorat Jenderal
Aplikasi Informatika, Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik
Indonesia.
Notaris dan Transaksi Elektronik
Notaris dan Transaksi Elektronik
Perdagangan saat ini
tidak lagi bersifat ’tradisional’ tetapi sudah memanfaatkan teknologi informasi
seperti internet untuk mempromosikan produk atau jasa dan melaksanakan
transaksi secara elektronik.Dikenal pula Kontrak Elektronik yang memungkinkan
para pihak terikat dalam suatu kesepakatan.
Perkembangan perdagangan dan sektor lainnya yang memanfaatkan teknologi informasi dibarengi pula dengan perlindungan hukum. Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik memuat pengaturan transaksi elektronik dengan dukungan Sertifikat Elektronik, Tanda Tangan Elektronik, dan Sistem Elektronik yang aman dan handal. Dengan Sertifikat Elektronik dan Tanda Tangan Elektronik maka para pihak yang saling bertransaksi dapat diotentikasi siapa penanda tangan, dan diketahui status keutuhan dokumen/informasi elektronik yang ditanda tangani.
Penggunaan Tanda Tangan Elektronik memiliki kehandalan melebihi dari tanda tangan konvensional dengan tinta basah. Kehandalan yang dimaksud, yakni:
Perkembangan perdagangan dan sektor lainnya yang memanfaatkan teknologi informasi dibarengi pula dengan perlindungan hukum. Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik memuat pengaturan transaksi elektronik dengan dukungan Sertifikat Elektronik, Tanda Tangan Elektronik, dan Sistem Elektronik yang aman dan handal. Dengan Sertifikat Elektronik dan Tanda Tangan Elektronik maka para pihak yang saling bertransaksi dapat diotentikasi siapa penanda tangan, dan diketahui status keutuhan dokumen/informasi elektronik yang ditanda tangani.
Penggunaan Tanda Tangan Elektronik memiliki kehandalan melebihi dari tanda tangan konvensional dengan tinta basah. Kehandalan yang dimaksud, yakni:
- Authenticity(Ensured)
Dengan menggunakan tanda tangan elektronik pada dokumen/informasi elektronik maka dapat dibuktikan dengan metode tertentu siapa yang menandatangani dokumen/informasi elektronik itu. - Integrity
Integritas/integrity berhubungan dengan masalah keutuhan dari suatu dokumen/informasi elektronik yang ditanda tangani. Penggunaan tanda tangan elektronik dapat menjamin bahwa informasi elektronik yang ditanda tangani dapat diketahui apakah mengalami suatu perubahan atau modifikasi oleh pihak yang tidak bertanggungjawab. - Non-Repudiation (Tidak
dapat disangkal keberadaannya)
Non repudiation atau tidak dapat disangkalnya keberadaan suatu dokumen/informasi berhubungan dengan orang yang menandatanganinya. Si penanda tangan dokumen/informasi elektronik tidak dapat memungkiri bahwa ia telah menandatangani dan mengirimkan dokumen/informasi itu ke penerima dan tidak dapat memungkiri isi dokumen itu sepanjang tidak ada upaya perubahan oleh pihak yang tidak bertanggungjawab. - Confidentiality
Dokumen/Informasi elektronik yang telah ditanda tangani dan dikirimkan bersifat rahasia/confidential, sehingga tidak semua orang dapat mengetahui isi informasi elektronik yang telah dirahasiakan dengan metode kriptografi. - Realible
Bahwa dokumen/informasi elektronik yang disampaikan melalui dunia maya harus mampu dipertanggungjawabkan para pihak yang melakukan transaksi. Dengan penggunaan tanda tangan elektronik disertai kunci publik dan kunci privat dalam proses merahasiakan dan menandatangani dokumen/informasi elektronik maka segala transaksi elektronik yang dilakukan di dunia maya dapat dipertanggung jawabkan secara teknis.
Peran Notaris dalam transaksi elektronik bersama-sama dengan pihak Certificate Authority (CA) sebagai pihak ketiga yang dipercaya (trusted third party) dalam mengamankan dan melegitimasi transaksi elektronik. Certificate Authority merupakan pihak yang menerbitkan Sertifikat Elektronik yang berisikan identitas pemilik sertifikat, kunci publik dan kunci privat yang digunakan dalam transaksi elektronik untuk membuat tanda tangan elektronik, mengotentikasi si penanda tangan dan memverifikasi dokumen yang ditanda tangani.
Notaris bertindak untuk melakukan otentikasi pihak yang melakukan transaksi elektronik atau otentikasi pihak yang menandatangani dokumen/informasi elektronik, memverifikasi dokumen/informasi elektronik yang ditanda tangani para pihak, melakukan pengamanan terhadap penyimpanan informasi berupa tanda tangan dan dokumen yang ditanda tangani, membantu CA dalam penerbitan Sertifikat Elektronik khususnya mengidentifikasi para pihak yang memohon penerbitan Sertifikat Elektronik, dan terakhir menjadi perantara transaksi elektronik dimana dokumen elektronik dan tanda tangannya dikirim oleh Penerima ke Notaris, lalu Notaris melakukan otentikasi dan verifikasi lebih dahulu terhadap penanda tangan dan dokumen/informasi elektronik yang ditanda tangani, selanjutnya diteruskan ke Penerima.
Seorang penanda tangan dokumen/informasi elektronik harus hadir di depan Notaris sehingga memungkinkan Notaris untuk memeriksa identitas pelaku, keinginan pelaku, dan kompetensi/kemampuan pelaku dalam melaksanakan transaksi elektronik. Dengan bertatap muka, Notaris dapat pula mengetahui apakah pelaku yang ingin bertransaksi secara elektronik berada dalam keadaan tanpa paksaan atau ancaman fisik dari pihak lain, sehat rohani dan jasmani. Pemeriksaan pelaku yang akan bertransaksi ini juga membantu dalam penerbitan Sertifikat Elektronik.
Dalam pelaksanaan transaksi elektronik, pihak Pengirim mengirimkan dokumen/informasi elektronik yang ditanda tangani ke Notaris, kemudian Notaris memeriksa tanda tangan yang digunakan, identitas pengirim dan dokumen/informasi elektronik yang ditanda tangani.Jika pemeriksaan ini selesai, Notaris dapat mengirimkan informasi hasil pengecekan kepada Pengirim.Jika tidak ada masalah, lalu Notaris mengirimkan dokumen/informasi elektronik tersebut kepada Penerima.Pihak Penerima menyampaikan informasi kepada Notaris bahwa dokumen/informasi elektronik telah diterimanya.Penyampaian tersebut ditindaklanjuti oleh Notaris dengan mengirimkan informasi/laporan ke Pengirim bahwa Penerima telah menerima dokumen/informasi elektronik yang ditanda tangani.
Dari pembahasan di atas menunjukkan bahwa Certificate Authority tanpa didukung dengan peran Notaris menjadikan transaksi elektronik yang aman tapi legitimasinya lemah. Benar yang diuraikan dalam berbagai artikel di internet bahwa Certificate Authority (CA) dan Notary Authority (NA) merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan sebagai trusted third party dalam Transaksi Elektronik. Certificate Authority (CA) menyediakan Infrastruktur Teknologi yang aman digunakan oleh CA dan NA, sedangkan NA memberi legitimasi yang kuat dalam penyelenggaraan Transaksi Elektronik.
Waspadai Penipuan bermodus E-mail Phising
Dalam era informasi
sekarang ini, penyalahgunaan data sering kali terjadi oleh pelaku kejahatan,
seperti penyalahgunaan data mengenai rekening perbankan.Untuk itu, kita
seharusnya waspada dan mengenali praktek-praktek kejahatan yang terjadi agar
terhindar dari kerugian.Salah satunya adalah E-mail Phising.
Di zaman sekarang,
orang sudah akrab dengan yang namanya e-mail. Dari usia muda (anak-anak) sampai
usia tua pun sudah mengenal e-mail. Banyak fasilitas yang dapat diperoleh dari
penggunaannya, misalnya mengirim pesan, foto, atau aplikasi dalam hitungan
detik atau menit.Tapi, penggunaan e-mail dapat pula membuat kita mengalami
kerugian seperti kehilangan uang dalam kasus E-mail Phising.
Phising adalah tindakan
memancing atau mengelabui seseorang untuk memperoleh informasi pribadi seperti
User ID, PIN, nomor rekening bank, nomor kartu kredit secara tidak sah.
Informasi ini kemudian dimanfaatkan oleh pelaku kejahatan untuk mengakses
rekening seseorang, menarik atau mentransfer sejumlah uang ke rekening pelaku,
atau melakukan belanja online dengan menggunakan kartu kredit orang lain.
Berbagai cara ditempuh untuk mewujudkan keinginan pelaku, yang paling sering
adalah mengiming-imingi seseorang dengan hadiah, membuat email dan website
palsu yang menyerupai email dan website bank yang asli.
Phising sendiri berasal
dari kata “fishing” berarti memancing. Phising dapat dilakukan dengan berbagai
cara, seperti lewat telepon, chating, termasuk e-mail. Pelaku Phising (disebut
pula “phiser”) biasanya mengajak atau menggiring seseorang dari e-mail untuk
masuk ke website tertentu. Oleh karena itu, biasanya dalam e-mail phising
terdapat link ke website tertentu.
Website tersebut akan
meminta seseorang untuk memasukkan data pribadi, seperti User ID, password,
PIN, nomor kartu kredit, nomor rekening, tanggal lahir, atau nama ibu kandung.
Kemudian, data-data yang diperoleh akan digunakan oleh pelaku phising untuk
melakukan tindak penipuan pada website bank yang asli.
Aksi Pelaku E-mail Phising :
Para pelaku kejahatan
ini (“phiser”) bisa dikatakan sebagai “pencuri” yakni pencuri data pribadi dan
uang orang lain, pada umumnya menggunakan e-mail atau website untuk memancing
korbannya.
Pelaku mencari korban
atau nasabah yang diketahui sering atau pernah melakukan transaksi online
melalui website perbankan.Kemudian, si pelaku membuat alamat e-mail palsu atau
e-mail jebakan yang mirip dengan alamat e-mail resmi dari perbankan. Biasanya
e-mail mereka berupa iming-iming hadiah atau meminta seseorang untuk memasukkan
data pribadi pada form yang disediakan dalam suatu website dengan alasan untuk
verifikasi ulang. Si pelaku membuat website palsu yang dirancang sedemikian
rupa sehingga mirip dengan website aslinya.Pelaku seringkali memanfaatkan logo
atau merk milik bank atau penerbit kartu kredit agar lebih meyakinkan si
korban.
Nasabah yang tertipu
akan login ke dalam website palsu dan mulai mengisi informasi penting mengenai
data pribadi, seperti nomor kartu kredit, PIN, nomor rekening, password,
tanggal lahir, atau nama ibu kandung. Si korban merasa telah mengunjungi
website asli bank yang ia gunakan yang tidak lain website palsu. Data pribadi
tadi telah dimiliki oleh pelaku phising dan akan digunakanannya untuk mengakses
rekening atau kartu kredit korban. Korban yang tertipu baru akan menyadari
penipuan saat ia menerima surat pernyataan dari bank atau penerbit kartu kreditnya.
Berikut ini urutan
kejadian dari kejahatan e-mail phising, dan diharapkan pembaca memahami untuk
mewaspadai dan menghindari praktek kejahatan seperti ini.
1. Pertama kali
Para pelaku phising ini
biasanya mencari informasi awal tentang nasabah bank yang cukup lengkap,
termasuk alamat e-mail nasabah tersebut. Si pelaku membuat alamat e-mail dan
website yang mirip dengan alamat e-mail dan website asli dari bank.
2. Menyebarluaskan e-mail
Pelaku phising mengirim
e-mail ke alamat e-mail nasabah bank. E-mail tersebut berisikan pesan yang
meyakinkan korban bahwa pesan tersebut dari bank resmi. Lalu, korban diarahkan
ke website jebakan yang mirip dengan website bank yang asli dengan cara mengklik
link yang disertakan dalam e-mail. Pesan tersebut dapat berupa informasi bahwa
nasabah telah memenangkan undian berhadiah, untuk itu nasabah diminta untuk
verifikasi data pribadi lewat website yang ditunjuk. Pesan dapat pula berupa
permintaan untuk kembali mengisi data pribadi dengan alasan sistem elektronik
bank baru mengalami gangguan atau perbaikan, terkadang disertai ancaman
misalnya dalam jangka waktu 48 jam jika nasabah tidak melakukan pengisian ulang
data pribadi maka rekening nasabah akan diblokir oleh bank.
3. Login
Korban yang mengklik
link yang tertera dalam e-mail dan setelah itu masuk ke website jebakan. Agar
lebih meyakinkan, korban diminta untuk melewati prosedur resmi dengan membuat
username dan password yang baru agar dapat login ke website jebakan
tersebut.Kemudian, muncul form yang meminta korban untuk mengisi ulang beberapa
informasi mengenai data pribadi misalnya nomor kartu kredit dan PIN.
4. Penyalahgunaan
Data pribadi korban
yang bersifat rahasia, sekarang sudah diketahui oleh pelaku phising. Dengan
informasi penting yang didapatnya, ia dapat masuk ke website resmi bank. Kini
pelaku bisa mentransfer uang korban ke rekening pelaku.Bahkan, Pelaku dapat
menggunakan kartu kredit korban untuk membayar tagihah-tagihan pribadinya, termasuk
berbelanja online.
5. Sadar menjadi korban
Si Korban akan sadar
kalau rekening atau kartu kreditnya telah dibobol setelah menerima surat
pernyataan dari bank, atau menemukan sendiri rekeningnya telah kosong.
Cara menghindari penipuan dengan modus E-mail Phising
:
- Waspada
jika menerima e-mail yang meminta informasi pribadi Anda, seperti nomor
rekening, nomor kartu kredit, PIN apalagi pelaku mengaku dari Bank. Bank
biasanya memiliki kebijakan untuk tidak membolehkan nasabah mengisi data
pribadi lewat e-mail. Jika menerima e-mail seperti ini, segera laporkan
kepada Bank yang bersangkutan.
- Waspada
jika menerima e-mail yang meminta Anda untuk melakukan transfer uang ke
rekening tertentu, dengan tujuan mendapatkan hadiah undian dari Bank
tertentu. Sebaiknya cari keterangan lengkap dengan cara menghubungi
langsung Bank yang bersangkutan.
- Sebaiknya
secara rutin mengganti password atau PIN agar tidak mudah dicuri.
- Tiap
kali masuk halaman website, perhatikan dengan seksama isi dan alamatnya.
Usahakan kenali alamat website asli dari bank yang diajak bertransaksi.
Jangan terpancing oleh keberadaan logo bank di website tersebut, karena
logo bank mudah dicopy. Cara yang terbaik adalah menghubungi langsung bank
yang bersangkutan untuk mengecek kebenaran website tersebut agar Anda
tidak tertipu.
- Waspada
jika Anda menerima e-mail yang meminta PIN Anda. Pada umumnya, Bank tidak
meminta PIN nasabah dengan alasan apapun. Sebaiknya cari keterangan
lengkap dengan cara langsung menghubungi Bank yang bersangkutan.
Ketentuan hukum yang mengatur tentang phising sampai saat ini belum ada, tetapi tidak berarti perbuatan tersebut dapat dibiarkan begitu saja. Perbuatan penipuan dengan modus Phising tetap dapat dijerat dengan berbagai peraturan yang ada, diantaranya UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) No. 11 Tahun 2008.Perbuatan penipuan tersebut memenuhi unsur pidana pasal 28 ayat 1, dan pasal 35.Berikut petikan isi pasal-pasal tersebut.
Pasal 28 ayat 1
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik.
Pasal 35
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan manipulasi, penciptaan, perubahan, penghilangan, pengrusakan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dengan tujuan agar Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik tersebut dianggap seolah-olah data yang otentik.
Tindakan penipuan oleh pelaku phising jelas dilakukan dengan cara menyebarkan berita bohong dan menyesatkan sehingga konsumen (nasabah bank) menderita kerugian dalam transaksi elektronik perbankan. Dalam menjalankan aksinya, pelaku phising menciptakan informasi elektronik seperti mengirim pesan dalam bentuk e-mail ke para nasabah yang seolah-olah asli (otentik) dari bank yang resmi.
Bagi pelaku phising akan dikenai pidana penjara sesuai unsur pidana yang terpenuhi yang tercantum dalam pasal 45 ayat 2 untuk pasal 28 ayat 1, pasal 51 ayat 1 untuk pasal 35. Berikut petikan isi pasal tersebut.
Pasal 45 ayat 2
Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 51 ayat 1
Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah).
Aturan Tindak Pidana dalam UU Pornografi dan UU ITE
tentang Informasi Elektronik bermuatan Pornografi
Kemajuan Teknologi
Informasi dan Komunikasi (TIK) dan pemanfaatannya dalam berbagai bidang
kehidupan menandai perubahan peradaban manusia menuju masyarakat
informasi.Internet adalah produk TIK yang memudahkan setiap orang memperoleh
dan menyebarkan informasi dengan cepat, murah dan menjangkau wilayah yang
sangat luas.Pemanfaatan Internet tidak hanya membawa dampak positif, tapi juga
dampak negatif.Salah satu dampak negatif dari pemanfaatan internet adalah
penyebaran informasi bermuatan pornografi yang menjadi perhatian serius dari
Pemerintah di berbagai Negara termasuk Indonesia.
Pemerintah Cina pada tahun 2007 secara serius mengambil tindakan tegas dengan memberantas penyebarluasan pornografi di Internet.Pemerintah Cina mengganggap masalah Pornografi merupakan masalah sosial yang perlu ditangani secara serius karena memicu berbagai tindak kriminal yang marak terjadi. Sikap Pemerintah Cina bukan hanya isapan jempol, sekitar 44.000 situs porno berhasil ditutup, menahan sekitar 868 orang dan memproses 524 kasus krimimal berkaitan pornografi di Internet. Dengan dibantu tenaga ahli komputer, Cina mampu menyensor isi situs di internet, dan memblokir akses situs porno dari luar negeri.Demikian pula, Pemerintah Singapura tidak ingin bermain-main dengan soal pornografi dengan keras menindak para pelaku penyebaran pornografi terutama foto-foto bugil dan memblokir akses situs porno. Bahkan, produk pornografi dalam kemasan VCD termasuk majalah PlayBoy tidak akan dijumpai pada toko-tokodiSingapura.
Bagaimana di Indonesia? Sudah banyak peraturan perundang-undangan yang memuat larangan penyebaran pornografi, diantaranya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Peraturan perundang-undangan tersebut dianggap kurang memadai dan belum memenuhi kebutuhan hukum untuk memberantas pornografi secara efektif. Oleh karena itu, sejak tahun 2006 telah bergulir pembahasan Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP) di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Dalam perjalanannya, RUU APP berganti menjadi RUU Pornografi dan pada tanggal 30 Oktober 2008, DPR RI mengesahkan UU Pornografi melalui Sidang Paripurna.
Pro dan Kontra mewarnai sebelum dan sesudah lahirnya UU Pornografi terhadap beberapa hal seperti batasan pornografi, sanksi pidana, dan peran serta masyarakat. Meskipun demikian, Pemerintah dan DPR RI menyadari sepenuhnya bahwa Indonesia perlu segera memiliki UU Pornografi dengan pertimbangan bahwa pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi dipandang sudah semakin luas dan dapat mengancam kehidupan sosial masyarakat. Kita masih ingat berbagai tindak kriminal terjadi di tengah masyarakat seperti pemerkosaan dan pelecehan seksual dimana si pelaku terdorong melakukannya setelah menonton film porno di internet, kasus maraknya penyebaran foto bugil di internet dari hasil rekayasa foto, kasus jual-beli VCD Porno yang melibatkan orang dewasa maupun anak-anak, dan masih banyak kasus lainnya. Dengan lahirnya UU Pornografi dimaksudkan untuk segera mencegah berkembangnya pornografi dan komersialisasi seks di masyarakat, dan memberikan kepastian hukum dan perlindungan bagi warga negara dari pornografi, terutama bagi anak dan perempuan.
Memang disadari bahwa kemajuan teknologi ternyata memberikan ruang bagi penyebaran pornografi, sebut saja penggunaan komputer untuk menggandakan file-file bermuatan pornografi ke dalam VCD, kemudian dijual atau disewakan kepada orang yang berminat.Internet yang sering digunakan untuk transaksi dagang, penyebaran ilmu pengetahuan, penyebaran berita, ternyata dapat pula dimanfaatkan untuk menyebarluaskan pornografi dalam bentuk informasi elektronik berupa gambar, foto, kartun, gambar bergerak, dan bentuk lainnya.
Menurut peneliti LIPI, Romi Satria Wahono: setiap detiknya terdapat 28258 orang melihat situs porno, setiap detiknya 372 pengguna Internet mengetikkan kata kunci tertentu di situs pencari untuk mencari konten pornografi, dan jumlah halaman situs pornografi di dunia mencapai 420 juta. Data tersebut memang sangat mengejutkan kita karena penyebaran pornografi di internet sangat cepat, apalagi di masa akan datang. Oleh karena itu, perlu komitmen yang serius dari Pemerintah dan dukungan dari masyarakat untuk melakukan langkah yang tegas dan efektif dalam mencegah dan memberantas pembuatan, penyebaran, dan penggunaan produk pornografi.
Untuk mencegah dan memberantas penyebaran pornografi lewat komputer dan internet, Indonesia telah memiliki peraturan perundang-undangan yang memuat larangan penyebaran pornografi dalam bentuk informasi elektronik yakni UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Pada pasal 27 ayat 1 berbunyi ”Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan”. Sanksi pidana akan dikenakan bagi setiap orang yang melakukan perbuatan seperti dinyatakan dalam pasal 27 ayat 1 yakni pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Dengan berlakunya UU Pornografi, UU ITE dan peraturan perundangan-undangan yang memuat larangan pornografi tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan UU Pornografi.Hal ini telah ditegaskan dalam Pasal 44 UU Pornografi.
KepemilikanProdukPornografi
UU Pornografi menjerat bagi setiap orang yang memiliki atau menyimpan produk pornografi (kecuali untuk kepentingan pribadi) .Ketentuan tentang larangan kepemilikan produk pornografi dinyatakan dalam pasal 6 bahwa Setiap orang dilarang memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan produk pornografi kecuali diberi kewenangan oleh perundang-undangan. Yang dimaksud “diberi kewenangan oleh perundang-undangan” misalnya lembaga sensor film, lembaga pengawasan penyiaran, lembaga penegak hukum, lembaga pelayanan kesehatan dan lembaga pendidikan.
Selanjutnya, Pasal 43 memerintahkan kepada setiap orang yang menyimpan atau memiliki produk pornografi untuk memusnahkan sendiri atau menyerahkan kepada pihak yang berwajib untuk dimusnahkan dalam waktu paling lama 1 bulan sejak UU Pornografi berlaku. Pemusnahan yang dimaksud seperti menghapus semua file komputer bermuatan pornografi yang tersimpan di CD, Harddisk, Flash disk atau media penyimpanan lainnya. Tentu, bagi orang yang masih menyimpan produk pornografi akan terkena sanksi pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau denda paling banyak 2 miliar rupiah.
Memproduksi, membuat dan menyebarluaskan Pornografi
Bagi orang yang memiliki website yang menyajikan cerita porno, foto bugil, film porno, dan berbagai informasi bermuatan pornografi akan dijerat dengan pasal 4 ayat 1 UU Pornografi dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 12 (duabelas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah). Bandingkan dengan sanksi pidana dalam UU ITE, terhadap setiap orang yang menyebarkan informasi pornografi (pasal 27 ayat 1) dikenai pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Tampaknya, sanksi pidana dalam UU Pornografi lebih berat.Yang dimaksud dengan "membuat" dalam Pasal 4 tidak termasuk untuk dirinya sendiri dan kepentingan sendiri.Dengan demikian, seseorang yang membuat produk pornografi untuk kepentingan sendiri/pribadi tidak dapat dijerat dengan pasal-pasal dalam UU Pornografi.
Pasal 27 ayat 1 UU ITE menggunakan kata ’dapat diaksesnya’, yang berarti setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak membuat dapat diaksesnya informasi elektronik bermuatan pornografi atau pelanggaran kesusilaan akan terkena sanksi pidana. Contoh, Seseorang memiliki website. Bila di dalam website itu terdapat link (hubungan) ke website lain yang memuat gambar porno maka orang itu dapat dituduh ikut menyebarluaskan pornografi atau mengarahkan orang lain mengakses situs porno. Contoh yang lain, perbuatan seseorang mengirimkan pesan lewat email kepada orang lain dan memberitahu keberadaan situs porno yang dapat diakses. Perbuatan orang itu juga termasuk perbuatan menyebarluaskan pornografi yang dilarang dalam UU ITE.
Dalam UU ITE, diatur pula larangan mengubah atau memanipulasi informasi elektronik sehingga seolah-olah tampak asli. Kita sering mendengar dan melihat berita tentang tindak kriminal dari pelaku rekayasa foto seperti foto artis, pejabat, atau orang lain yang diubah dari tidak bugil menjadi bugil (seolah-olah foto asli). Kegiatan merekayasa foto tersebut termasuk perbuatan yang dilarang dalam UU ITE terkait dengan pasal 35 yaitu setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan manipulasi informasi elektronik sehingga dianggap seolah-olah data yang otentik.Bagi si pelaku dikenai sanksi pidana dengan pidana penjara paling lama 12 (duabelas) tahun dan/atau denda paling banyak 12 (duabelas) miliar rupiah.
Mengunduh, Memperbanyak, menggandakan, memperjualbelikan, menyewakan Pornografi
Kegiatan seperti mengcopy file Pornografi ke CD atau media penyimpanan yang lain, lalu menyewakan atau menjualnya merupakan perbuatan yang melanggar Pasal 4 ayat 1 UU Pornografi, bagi si pelaku dikenakan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 12 (duabelas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).
Kegiatan seseorang untuk memfasilitasi pembuatan, penggandaan, penyebarluasan, penjualan, penyewaan, penggunaan produk pornografi merupakan kegiatan yang dilarang dalam pasal 7 UU Pornografi. Bagi pelaku yang melanggar pasal 7 dikenai pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp7.500.000.000,00 (tujuh miliar lima ratus juta rupiah). Bandingkan dengan UU ITE, Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengadakan atau menyediakan perangkat keras atau perangkat lunak Komputer yang digunakan untuk memfasilitasi perbuatan penyebarluasan pornografi merupakan perbuatan yang dilarang dalam pasal 34 ayat 1 UU ITE. Bagi pelaku akan dikenai pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). Perbuatan itu termasuk keterlibatan seseorang menyediakan fasilitas berupa perangkat keras komputer untuk menggandakan atau memperbanyak file-file pornografi dalam CD atau media penyimpanan yang lain agar dapat disebarluaskan.
Setiap orang yang memiliki produk pornografi mendapatkannya dengan cara membeli, memperoleh secara gratis, atau mengunduh dari internet. Mengunduh adalah kegiatan mengalihkan atau mengambil file dari sistem teknologi informasi dan komunikasi. Kegiatan mengunduh sering dilakukan di internet, seperti mengunduh artikel ilmiah, berita, cerita humor, dan informasi lainnya.Tapi, mengunduh pornografi merupakan perbuatan yang dilarang pada pasal 5 UU Pornografi.Setiap orang yang mengunduh pornografi dikenai pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau denda paling banyak 2 miliar rupiah.Pemerintah telah berupaya untuk melakukan pemblokiran terhadap akses situs porno agar tidak dapat diunduh dengan menyediakan software antipornografi.Meskipun demikian, situs porno di internet bertambah jumlahnya setiap saat, sehingga penggunaan software antipornografi perlu dibarengi dengan upaya yang lain, misalnya memberdayakan peran orang tua untuk mengawasi dan memberi penjelasan kepada anak-anak untuk tidak mengunduh pornografi lewat internet atau media lainnya.
Pencegahan Pornografi dengan Peran Serta Masyarakat dan Pemerintah
UU Pornografi tidak hanya memuat pasal-pasal larangan tetapi memuat pula peran serta masyarakat dan pemerintah untuk mencegah penyebarluasan pornografi.Pasal 15 dikatakan “Setiap orang berkewajiban melindungi anak dari pengaruh pornografi dan mencegah akses anak terhadap pornografi”.Selanjutnya, dalam ketentuan umum pada Pasal 1 yang dimaksud dengan Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun. Untuk usia di bawah 18 tahun, akses pornografi oleh anak-anak kemungkinan dilakukan lewat Internet, dan tempat yang mudah dijangkau adalah Warnet. Bagi pemilik dan pengelola warnet berkewajiban mengawasi dan mencegah akses pornografi lewat internet, misalnya mengatur posisi komputer agar menyulitkan pengunjung warnet untuk mengakses situs porno, menggunakan software antipornografi,danupayalainnya.
Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib melakukan pencegahan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi dengan cara melakukan pemutusan jaringan pembuatan dan penyebarluasan produk pornografi atau jasa pornografi, termasuk pemblokiran melalui internet. Pemerintah daerah berwenang mengembangkan edukasi misalnya penyuluhan ke sekolah-sekolah tentang bahaya dan dampak pornografi.Masyarakat diharapkan dapat ikut berperan serta untuk mencegah penyebarluasan pornografi dengan melaporkan pelanggaran, melakukan sosialisasi kepada masyarakat tentang pornografi dan upaya pencegahannya.Peran serta masyarakat harus sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku, maksudnya masyarakat tidak boleh melakukan tindakan main hakim sendiri, tindakan kekerasan, razia (sweeping), atau tindakan melawan hukum lainnya, hal ini ditegaskan dalam Bagian Penjelasan UU Pornografi.
Pencegahan dan Pemberantasan Pornografi oleh Aparat Penegak Hukum
Untuk melaksanakan UU Pornografi, Aparat Penegak Hukum memiliki kewenangan untuk mencegah dan memberantas penyebaran produk pornografi.Berbagai upaya dapat dilakukan diantaranya melakukan razia (sweeping) di berbagai tempat termasuk pengguna komputer untuk memeriksa keberadaan produk pornografi, menindak para pembuat website pornografi, melakukan penyuluhan tentang bahaya pornografi dan sanksi pidana. Kewenangan Aparat tersebut dipertegas dalam Pasal 25 UU Pornografi tentang penyidikan bahwa penyidik berwenang membuka akses, memeriksa file komputer, jaringan internet, media optik, serta bentuk penyimpanan data elektronik lainnya. Pemilik data atau penyimpan data atau penyedia jasa layanan elektronik wajib menyerahkan atau membuka data elektornik yang diminta oleh Penyidik.
Pemerintah Cina pada tahun 2007 secara serius mengambil tindakan tegas dengan memberantas penyebarluasan pornografi di Internet.Pemerintah Cina mengganggap masalah Pornografi merupakan masalah sosial yang perlu ditangani secara serius karena memicu berbagai tindak kriminal yang marak terjadi. Sikap Pemerintah Cina bukan hanya isapan jempol, sekitar 44.000 situs porno berhasil ditutup, menahan sekitar 868 orang dan memproses 524 kasus krimimal berkaitan pornografi di Internet. Dengan dibantu tenaga ahli komputer, Cina mampu menyensor isi situs di internet, dan memblokir akses situs porno dari luar negeri.Demikian pula, Pemerintah Singapura tidak ingin bermain-main dengan soal pornografi dengan keras menindak para pelaku penyebaran pornografi terutama foto-foto bugil dan memblokir akses situs porno. Bahkan, produk pornografi dalam kemasan VCD termasuk majalah PlayBoy tidak akan dijumpai pada toko-tokodiSingapura.
Bagaimana di Indonesia? Sudah banyak peraturan perundang-undangan yang memuat larangan penyebaran pornografi, diantaranya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Peraturan perundang-undangan tersebut dianggap kurang memadai dan belum memenuhi kebutuhan hukum untuk memberantas pornografi secara efektif. Oleh karena itu, sejak tahun 2006 telah bergulir pembahasan Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP) di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Dalam perjalanannya, RUU APP berganti menjadi RUU Pornografi dan pada tanggal 30 Oktober 2008, DPR RI mengesahkan UU Pornografi melalui Sidang Paripurna.
Pro dan Kontra mewarnai sebelum dan sesudah lahirnya UU Pornografi terhadap beberapa hal seperti batasan pornografi, sanksi pidana, dan peran serta masyarakat. Meskipun demikian, Pemerintah dan DPR RI menyadari sepenuhnya bahwa Indonesia perlu segera memiliki UU Pornografi dengan pertimbangan bahwa pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi dipandang sudah semakin luas dan dapat mengancam kehidupan sosial masyarakat. Kita masih ingat berbagai tindak kriminal terjadi di tengah masyarakat seperti pemerkosaan dan pelecehan seksual dimana si pelaku terdorong melakukannya setelah menonton film porno di internet, kasus maraknya penyebaran foto bugil di internet dari hasil rekayasa foto, kasus jual-beli VCD Porno yang melibatkan orang dewasa maupun anak-anak, dan masih banyak kasus lainnya. Dengan lahirnya UU Pornografi dimaksudkan untuk segera mencegah berkembangnya pornografi dan komersialisasi seks di masyarakat, dan memberikan kepastian hukum dan perlindungan bagi warga negara dari pornografi, terutama bagi anak dan perempuan.
Memang disadari bahwa kemajuan teknologi ternyata memberikan ruang bagi penyebaran pornografi, sebut saja penggunaan komputer untuk menggandakan file-file bermuatan pornografi ke dalam VCD, kemudian dijual atau disewakan kepada orang yang berminat.Internet yang sering digunakan untuk transaksi dagang, penyebaran ilmu pengetahuan, penyebaran berita, ternyata dapat pula dimanfaatkan untuk menyebarluaskan pornografi dalam bentuk informasi elektronik berupa gambar, foto, kartun, gambar bergerak, dan bentuk lainnya.
Menurut peneliti LIPI, Romi Satria Wahono: setiap detiknya terdapat 28258 orang melihat situs porno, setiap detiknya 372 pengguna Internet mengetikkan kata kunci tertentu di situs pencari untuk mencari konten pornografi, dan jumlah halaman situs pornografi di dunia mencapai 420 juta. Data tersebut memang sangat mengejutkan kita karena penyebaran pornografi di internet sangat cepat, apalagi di masa akan datang. Oleh karena itu, perlu komitmen yang serius dari Pemerintah dan dukungan dari masyarakat untuk melakukan langkah yang tegas dan efektif dalam mencegah dan memberantas pembuatan, penyebaran, dan penggunaan produk pornografi.
Untuk mencegah dan memberantas penyebaran pornografi lewat komputer dan internet, Indonesia telah memiliki peraturan perundang-undangan yang memuat larangan penyebaran pornografi dalam bentuk informasi elektronik yakni UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Pada pasal 27 ayat 1 berbunyi ”Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan”. Sanksi pidana akan dikenakan bagi setiap orang yang melakukan perbuatan seperti dinyatakan dalam pasal 27 ayat 1 yakni pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Dengan berlakunya UU Pornografi, UU ITE dan peraturan perundangan-undangan yang memuat larangan pornografi tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan UU Pornografi.Hal ini telah ditegaskan dalam Pasal 44 UU Pornografi.
KepemilikanProdukPornografi
UU Pornografi menjerat bagi setiap orang yang memiliki atau menyimpan produk pornografi (kecuali untuk kepentingan pribadi) .Ketentuan tentang larangan kepemilikan produk pornografi dinyatakan dalam pasal 6 bahwa Setiap orang dilarang memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan produk pornografi kecuali diberi kewenangan oleh perundang-undangan. Yang dimaksud “diberi kewenangan oleh perundang-undangan” misalnya lembaga sensor film, lembaga pengawasan penyiaran, lembaga penegak hukum, lembaga pelayanan kesehatan dan lembaga pendidikan.
Selanjutnya, Pasal 43 memerintahkan kepada setiap orang yang menyimpan atau memiliki produk pornografi untuk memusnahkan sendiri atau menyerahkan kepada pihak yang berwajib untuk dimusnahkan dalam waktu paling lama 1 bulan sejak UU Pornografi berlaku. Pemusnahan yang dimaksud seperti menghapus semua file komputer bermuatan pornografi yang tersimpan di CD, Harddisk, Flash disk atau media penyimpanan lainnya. Tentu, bagi orang yang masih menyimpan produk pornografi akan terkena sanksi pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau denda paling banyak 2 miliar rupiah.
Memproduksi, membuat dan menyebarluaskan Pornografi
Bagi orang yang memiliki website yang menyajikan cerita porno, foto bugil, film porno, dan berbagai informasi bermuatan pornografi akan dijerat dengan pasal 4 ayat 1 UU Pornografi dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 12 (duabelas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah). Bandingkan dengan sanksi pidana dalam UU ITE, terhadap setiap orang yang menyebarkan informasi pornografi (pasal 27 ayat 1) dikenai pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Tampaknya, sanksi pidana dalam UU Pornografi lebih berat.Yang dimaksud dengan "membuat" dalam Pasal 4 tidak termasuk untuk dirinya sendiri dan kepentingan sendiri.Dengan demikian, seseorang yang membuat produk pornografi untuk kepentingan sendiri/pribadi tidak dapat dijerat dengan pasal-pasal dalam UU Pornografi.
Pasal 27 ayat 1 UU ITE menggunakan kata ’dapat diaksesnya’, yang berarti setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak membuat dapat diaksesnya informasi elektronik bermuatan pornografi atau pelanggaran kesusilaan akan terkena sanksi pidana. Contoh, Seseorang memiliki website. Bila di dalam website itu terdapat link (hubungan) ke website lain yang memuat gambar porno maka orang itu dapat dituduh ikut menyebarluaskan pornografi atau mengarahkan orang lain mengakses situs porno. Contoh yang lain, perbuatan seseorang mengirimkan pesan lewat email kepada orang lain dan memberitahu keberadaan situs porno yang dapat diakses. Perbuatan orang itu juga termasuk perbuatan menyebarluaskan pornografi yang dilarang dalam UU ITE.
Dalam UU ITE, diatur pula larangan mengubah atau memanipulasi informasi elektronik sehingga seolah-olah tampak asli. Kita sering mendengar dan melihat berita tentang tindak kriminal dari pelaku rekayasa foto seperti foto artis, pejabat, atau orang lain yang diubah dari tidak bugil menjadi bugil (seolah-olah foto asli). Kegiatan merekayasa foto tersebut termasuk perbuatan yang dilarang dalam UU ITE terkait dengan pasal 35 yaitu setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan manipulasi informasi elektronik sehingga dianggap seolah-olah data yang otentik.Bagi si pelaku dikenai sanksi pidana dengan pidana penjara paling lama 12 (duabelas) tahun dan/atau denda paling banyak 12 (duabelas) miliar rupiah.
Mengunduh, Memperbanyak, menggandakan, memperjualbelikan, menyewakan Pornografi
Kegiatan seperti mengcopy file Pornografi ke CD atau media penyimpanan yang lain, lalu menyewakan atau menjualnya merupakan perbuatan yang melanggar Pasal 4 ayat 1 UU Pornografi, bagi si pelaku dikenakan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 12 (duabelas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).
Kegiatan seseorang untuk memfasilitasi pembuatan, penggandaan, penyebarluasan, penjualan, penyewaan, penggunaan produk pornografi merupakan kegiatan yang dilarang dalam pasal 7 UU Pornografi. Bagi pelaku yang melanggar pasal 7 dikenai pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp7.500.000.000,00 (tujuh miliar lima ratus juta rupiah). Bandingkan dengan UU ITE, Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengadakan atau menyediakan perangkat keras atau perangkat lunak Komputer yang digunakan untuk memfasilitasi perbuatan penyebarluasan pornografi merupakan perbuatan yang dilarang dalam pasal 34 ayat 1 UU ITE. Bagi pelaku akan dikenai pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). Perbuatan itu termasuk keterlibatan seseorang menyediakan fasilitas berupa perangkat keras komputer untuk menggandakan atau memperbanyak file-file pornografi dalam CD atau media penyimpanan yang lain agar dapat disebarluaskan.
Setiap orang yang memiliki produk pornografi mendapatkannya dengan cara membeli, memperoleh secara gratis, atau mengunduh dari internet. Mengunduh adalah kegiatan mengalihkan atau mengambil file dari sistem teknologi informasi dan komunikasi. Kegiatan mengunduh sering dilakukan di internet, seperti mengunduh artikel ilmiah, berita, cerita humor, dan informasi lainnya.Tapi, mengunduh pornografi merupakan perbuatan yang dilarang pada pasal 5 UU Pornografi.Setiap orang yang mengunduh pornografi dikenai pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau denda paling banyak 2 miliar rupiah.Pemerintah telah berupaya untuk melakukan pemblokiran terhadap akses situs porno agar tidak dapat diunduh dengan menyediakan software antipornografi.Meskipun demikian, situs porno di internet bertambah jumlahnya setiap saat, sehingga penggunaan software antipornografi perlu dibarengi dengan upaya yang lain, misalnya memberdayakan peran orang tua untuk mengawasi dan memberi penjelasan kepada anak-anak untuk tidak mengunduh pornografi lewat internet atau media lainnya.
Pencegahan Pornografi dengan Peran Serta Masyarakat dan Pemerintah
UU Pornografi tidak hanya memuat pasal-pasal larangan tetapi memuat pula peran serta masyarakat dan pemerintah untuk mencegah penyebarluasan pornografi.Pasal 15 dikatakan “Setiap orang berkewajiban melindungi anak dari pengaruh pornografi dan mencegah akses anak terhadap pornografi”.Selanjutnya, dalam ketentuan umum pada Pasal 1 yang dimaksud dengan Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun. Untuk usia di bawah 18 tahun, akses pornografi oleh anak-anak kemungkinan dilakukan lewat Internet, dan tempat yang mudah dijangkau adalah Warnet. Bagi pemilik dan pengelola warnet berkewajiban mengawasi dan mencegah akses pornografi lewat internet, misalnya mengatur posisi komputer agar menyulitkan pengunjung warnet untuk mengakses situs porno, menggunakan software antipornografi,danupayalainnya.
Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib melakukan pencegahan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi dengan cara melakukan pemutusan jaringan pembuatan dan penyebarluasan produk pornografi atau jasa pornografi, termasuk pemblokiran melalui internet. Pemerintah daerah berwenang mengembangkan edukasi misalnya penyuluhan ke sekolah-sekolah tentang bahaya dan dampak pornografi.Masyarakat diharapkan dapat ikut berperan serta untuk mencegah penyebarluasan pornografi dengan melaporkan pelanggaran, melakukan sosialisasi kepada masyarakat tentang pornografi dan upaya pencegahannya.Peran serta masyarakat harus sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku, maksudnya masyarakat tidak boleh melakukan tindakan main hakim sendiri, tindakan kekerasan, razia (sweeping), atau tindakan melawan hukum lainnya, hal ini ditegaskan dalam Bagian Penjelasan UU Pornografi.
Pencegahan dan Pemberantasan Pornografi oleh Aparat Penegak Hukum
Untuk melaksanakan UU Pornografi, Aparat Penegak Hukum memiliki kewenangan untuk mencegah dan memberantas penyebaran produk pornografi.Berbagai upaya dapat dilakukan diantaranya melakukan razia (sweeping) di berbagai tempat termasuk pengguna komputer untuk memeriksa keberadaan produk pornografi, menindak para pembuat website pornografi, melakukan penyuluhan tentang bahaya pornografi dan sanksi pidana. Kewenangan Aparat tersebut dipertegas dalam Pasal 25 UU Pornografi tentang penyidikan bahwa penyidik berwenang membuka akses, memeriksa file komputer, jaringan internet, media optik, serta bentuk penyimpanan data elektronik lainnya. Pemilik data atau penyimpan data atau penyedia jasa layanan elektronik wajib menyerahkan atau membuka data elektornik yang diminta oleh Penyidik.
Sony Corp vs Sony AK
Somasi dari Sony Corp
kepada pengelola Sony-AK.com yakni Sony Arianto Kurniawan tentang kemiripan
nama domain Sony-AK.Com dengan merek “Sony” terjadi beberapa saat yang lalu.
Sebagai perusahaan raksasa di dunia, Sony Corp telah berkiprah lama sehingga
produknya dikenal banyak orang di dunia.Sony Corp tentu ingin menjaga citra
merek “Sony”. Oleh karena itu, ketika ada nama domain yang mirip dengan merek
“Sony” dan membahas seputar Teknologi Informasi apalagi menjadi Knowlegde
Center dianggap dapat menimbulkan persepsi yang keliru bagi pengunjung internet
sebagai bagian situs resmi dari Sony Corp, padahal kenyataannya tidak demikian.
Ditinjau dari nama domain “Sony-AK.com” memang dapat menimbulkan persepsi yang keliru karena AK merupakan singkatan yang dapat memiliki kepanjangan yang dipersepsikan berbeda oleh pengunjung situs itu, mungkin ada pengunjung yang menganggap AK adalah singkatan nama suatu negara. Hal ini tidak akan menimbulkan persepsi yang keliru bila nama domain yang digunakan seperti “Sony-Ari-Kur.com”
Dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik telah diatur mengenai kepemilikan nama domain dan penggunaannya. Dalam Pasal 23 dinyatakan bahwa:
Ditinjau dari nama domain “Sony-AK.com” memang dapat menimbulkan persepsi yang keliru karena AK merupakan singkatan yang dapat memiliki kepanjangan yang dipersepsikan berbeda oleh pengunjung situs itu, mungkin ada pengunjung yang menganggap AK adalah singkatan nama suatu negara. Hal ini tidak akan menimbulkan persepsi yang keliru bila nama domain yang digunakan seperti “Sony-Ari-Kur.com”
Dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik telah diatur mengenai kepemilikan nama domain dan penggunaannya. Dalam Pasal 23 dinyatakan bahwa:
- Setiap
penyelenggara negara, Orang, Badan Usaha, dan/atau masyarakat berhak
memiliki Nama Domain berdasarkan prinsip pendaftar pertama.
- Pemilikan
dan penggunaan Nama Domain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
didasarkan pada iktikad baik, tidak melanggar prinsip persaingan usaha
secara sehat, dan tidak melanggar hak Orang lain.
- Setiap
penyelenggara negara, Orang, Badan Usaha, atau masyarakat yang dirugikan
karena penggunaan Nama Domain secara tanpa hak oleh Orang lain, berhak
mengajukan gugatan pembatalan Nama Domain dimaksud.
Langkah yang tepat sudah dilakukan oleh pengelola Sony-AK.com dengan menjawab somasi pihak Sony Corp seperti dikutip dalam situs detikinet.com:
Saya sudah menerima e-mail mengenai keberatan pengunaan nama domain sony-ak.com. Sebelumnya saya ingin menyampaikan beberapa poin mengenai domain tersebut.
- Domain sony-ak.com saya
daftarkan karena berawal dari nama saya "sony" dari Sony nama
depan saya, "-ak" merupakan singkatan dari nama belakang saya
"Arianto Kurniawan".
- Domain tersebut sudah saya
daftarkan sejak July 28, 2003 (www.whois.sc/sony-ak.com)
- Saya mengisi sony-ak.com
dengan tulisan-tulisan saya pribadi, karena kompetensi saya di bidang IT
dan saya hobby menulis, dan saya suka knowledge sharing maka saya menulis
segala sesuatu mengenai IT pada domain tersebut.
- Situs sony-ak.com saya beri
label Sony AK Knowledge Center karena sebagai media knowledge sharing saya
pribadi dengan semua pembaca online di seluruh dunia
- Sony AK Knowledge Center
mengandung kata SONY tapi Sony AK Knowledge Center bukanlah MEREK.
- Sony AK Knowledge Center
tidak berbadan hukum dan saya juga tidak ada niat untuk membuat badan
hukum atas label tersebut.
- Sony AK Knowledge Center
juga bukan organisasi dan tidak mendapat profit apa-apa.
- Sony AK Knowledge Center
juga tidak berhubungan dengan produk-produk "SONY Corporation"
Jepang, walaupun di surat Anda menyebutkan bahwa usaha kelas 41 (seputar
pendidikan) mungkin bersinggungan dengan konten kita, tapi saya dari dalam
hati tidak ada niat sedikitpun untuk sengaja "mendompleng" nama
SONY Corporation.
- Saya juga tidak ada niat
untuk membuat bingung para audience dengan menanggapi
- Saya tidak melakukan promosi
apapun sejak situs ini berdiri tahun 2003, paling-paling semua berawal
dari internet dan masuk search engine.
Pihak Sony Corp sepatutnya memberikan apresiasi dan tanggapan yang positif atas itikad baik dari Sony Arianto Kurniawan untuk menjawab somasi dan menjelaskan dalam situsnya. Pihak Sony Corp sepatutnya memandang masalah ini sudah selesai dan Sony Arianto Kurniawan tidak perlu menghentikan penggunaan nama domain “Sony-AK.com”, karena memang tidak memiliki hubungan atau afiliasi dengan Sony Corp. Content dari situs Sony-AK.com tidak mempengaruhi pencitraan merek "Sony".
RPM Konten Multimedia
Rancangan Peraturan
Menteri Komunikasi dan Informatika tentang Konten Multimedia yang telah disusun
oleh Depkominfo beberapa saat yang lalu sedang diuji publik dari tanggal 11
Februari 2010 s/d 19 Februari 2010 untuk mendapatkan masukan dari masyarakat agar
RPM tersebut lebih sempurna dan penerapannya dapat efektif.
Sebenarnya, RPM Konten
Multimedia merupakan pengaturan lebih lanjut atas Konten yang dilarang dalam UU
No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) meliputi
diantaranya perjudian, pornografi, penghinaan dan pencemaran nama baik, berita
bohong. RPM Konten Multimedia merupakan pengaturan secara teknis mengenai
tanggungjawab Penyelenggara jasa Multimedia dan peran Tim Konten Multimedia
dalam mengawasi dan melakukan tindakan terhadap konten yang dilarang.
Dalam UU ITE, khususnya
bab VII melarang Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan
dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan seperti melanggar kesusilaan,
perjudian, pemerasan dan/atau pengancaman, berita bohong. Frasa "Setiap
Orang" menunjukkan keberlakuannya baik terhadap Penyelenggara maupun
Pengguna jasa Multimedia.
RPM Konten Multimedia
dimaksudkan untuk melindungi kepentingan umum dari perbuatan orang lain yang
menyalahgunakan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik. Perlindungan
kepentingan umum tersebut dilakukan dengan cara meningkatkan tanggungjawab
Penyelenggara jasa Multimedia dan peran Tim Konten Multimedia, tanpa bermaksud
untuk meniadakan tanggungjawab Pengguna. Dalam Pasal 9 ayat 1 huruf c RPM
Konten Multimedia dinyatakan bahwa “keharusan bagi Pengguna untuk tunduk pada
hukum negara Republik Indonesia”. Hal ini berarti bahwa ketika Pengguna memuat
konten yang dilarang maka Pengguna akan dijerat dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku diantaranya UU ITE.
Dalam masa uji publik
RPM Konten Multimedia telah menuai banyak tanggapan dari berbagai kalangan
masyarakat.
Pasal 8 mewajibkan
Penyelenggara melakukan pemantauan konten dengan cara :
- membuat aturan penggunaan layanan;
- melakukan pemeriksaan mengenai kepatuhan Pengguna
terhadap aturan penggunaan layanan Penyelenggara;
- melakukan Penyaringan;
- menyediakan layanan Pelaporan dan/atau Pengaduan;
- menganalisa Konten Multimedia yang dilaporkan
dan/atau diadukan oleh Pengguna; dan
- menindaklanjuti hasil analisis atas Laporan dan/atau
Pengaduan dari suatu Konten Multimedia
Jadi, Penyelenggara
tidak memeriksa satu demi satu konten yang menuju ke pengguna, dan juga konten yang
berasal dari pengguna, tetapi memeriksa konten berdasarkan pelaporan dan/atau
pengaduan. Seseorang yang melaporkan ke Penyelenggara bahwa terdapat konten
yang dilarang yang dimuat oleh seorang pengguna, maka Penyelenggara wajib
menanggapi laporan tersebut dengan menganalisa konten tersebut, lalu
menindaklanjuti hasil analisis tersebut. Penyelenggara melakukan pemeriksaan
mengenai kepatuhan pengguna terhadap aturan penggunaan layanan penyelenggara
yang termuat dalam Pasal 9 ayat 1 (lihat sebelumnya di tanggapan 5).
Putusan Sela Prita Mulyasari
Putusan Hakim yang
membebaskan Prita Mulyasari dari jeratan hukum atas pasal 27 ayat (3) UU ITE
dan pasal 310 dan 311 KUHP merupakan tindakan yang tepat. Benar, bahwa Prita
Mulyasari tidak memiliki niat untuk mencemarkan nama baik rumah sakit Omni
International dan para dokter yang merawatnya. Surat elektronik dari Prita
Mulyasari hanya merupakan keluh kesah atau curhat yang dikirimkan secara
terbatas kepada beberapa teman, dengan maksud agar mereka berhati-hati sehingga
tidak terjadi seperti apa yang menimpanya. Dengan demikian, perbuatan Prita
Mulyasari tidak memenuhi unsur pidana dalam Pasal 310 dan 311 KUHP.
Dalam putusan Mahkamah Konstitusi R.I Nomor 50/PUU-VI/2008 tentang judicial review UU ITE No. 11 Tahun 2008 terhadap UUD 1945, salah satu pertimbangan Mahkamah berbunyi “keberlakuan dan tafsir atas Pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak dapat dipisahkan dari norma hukum pokok dalam Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP”. Dengan demikian, karena perbuatan Prita Mulyasari tidak memenuhi unsur pidana dalam Pasal 310 dan 311 KUHP, maka secara otomatis tidak memenuhi pula unsur pidana dalam Pasal 27 ayat (3) jo pasal 45 ayat (1) UU ITE.
Meskipun, Hakim yang menyidangkan kasus Prita Mulyasari memutuskan: membebaskan Prita Mulyasari dari jeratan hukum. Tapi, pendapat hakim yang mengatakan bahwa :UU ITE digunakan dua tahun lagi (21 April 2010) karena itu PRITA tidak bisa dijerat dengan UU ITE, apalagi UU ITE belum memiliki legalitas yang kuat karena belum ada PP merupakan Pendapatyangtidakbenar.
UU ITE mulai berlaku sejak diundangkan yaitu 21 April 2008, bukan 21 April 2010.Hal ini telah ditegaskan dalam Pasal 54 ayat (1) UU ITE bahwa "Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan". Mengenai Peraturan Pemerintah (PP), Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat(1) UU ITE mengenai larangan distribusi informasi elektronik bermuatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik tidak memerlukan PP, karena UU ITE tidak mengamanatkan untuk mengatur lebih lanjut Pasal 27 ayat (3) UU ITE ke dalam PP.
UU ITE hanya mengamanatkan perlunya Peraturan Pemerintah untuk mengatur :
Dalam putusan Mahkamah Konstitusi R.I Nomor 50/PUU-VI/2008 tentang judicial review UU ITE No. 11 Tahun 2008 terhadap UUD 1945, salah satu pertimbangan Mahkamah berbunyi “keberlakuan dan tafsir atas Pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak dapat dipisahkan dari norma hukum pokok dalam Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP”. Dengan demikian, karena perbuatan Prita Mulyasari tidak memenuhi unsur pidana dalam Pasal 310 dan 311 KUHP, maka secara otomatis tidak memenuhi pula unsur pidana dalam Pasal 27 ayat (3) jo pasal 45 ayat (1) UU ITE.
Meskipun, Hakim yang menyidangkan kasus Prita Mulyasari memutuskan: membebaskan Prita Mulyasari dari jeratan hukum. Tapi, pendapat hakim yang mengatakan bahwa :UU ITE digunakan dua tahun lagi (21 April 2010) karena itu PRITA tidak bisa dijerat dengan UU ITE, apalagi UU ITE belum memiliki legalitas yang kuat karena belum ada PP merupakan Pendapatyangtidakbenar.
UU ITE mulai berlaku sejak diundangkan yaitu 21 April 2008, bukan 21 April 2010.Hal ini telah ditegaskan dalam Pasal 54 ayat (1) UU ITE bahwa "Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan". Mengenai Peraturan Pemerintah (PP), Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat(1) UU ITE mengenai larangan distribusi informasi elektronik bermuatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik tidak memerlukan PP, karena UU ITE tidak mengamanatkan untuk mengatur lebih lanjut Pasal 27 ayat (3) UU ITE ke dalam PP.
UU ITE hanya mengamanatkan perlunya Peraturan Pemerintah untuk mengatur :
- Lembaga
sertifikasi keandalan
- Tanda tangan
elektronik
- Penyelenggaraan
sertifikasi elektronik
- Penyelenggaraan
sistem elektronik
- Penyelenggaraan
transaksi elektronik
- Penyelenggara
agen elektronik
- Pengelolaan
nama domain
- Tatacara
intersepsi
- Peran
pemerintah
Pasal
27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat (1) UU ITE mulai berlaku sejak diundangkan yaitu
21 April 2008 dan tidak memerlukan Peraturan Pemerintah (PP).
Pidana
Penjara dan Denda terkait Pasal Pencemaran Nama Baik dalam UU ITE
Keberlakuan dan tafsir
atas Pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak dapat dipisahkan dari norma hukum pokok
dalam Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP. Demikian salah satu pertimbangan Mahkamah
Konstitusi dalam putusan perkara No. 50/PUU-VI/2008 atas judicial review pasal
27 ayat (3) UU ITE terhadap UUD 1945. Mahkamah Konstitusi menyimpulkan bahwa
nama baik dan kehormatan seseorang patut dilindungi oleh hukum yang berlaku,
sehingga Pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak melanggar nilai-nilai demokrasi, hak
azasi manusia, dan prinsip-prinsip negara hukum. Pasal 27 ayat (3) UU ITE
adalah Konstitusional.
Bila dicermati isi Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat (1) UU ITE tampak sederhana bila dibandingkan dengan pasal-pasal penghinaan dalam KUHP yang lebih rinci. Oleh karena itu, penafsiran Pasal 27 ayat (3) UU ITE harus merujuk pada pasal-pasal penghinaan dalam KUHP. Misalnya, dalam UU ITE tidak terdapat pengertian tentang pencemaran nama baik. Dengan merujuk Pasal 310 ayat (1) KUHP, pencemaran nama baik diartikan sebagai perbuatan menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum.
Pasal 27 ayat (3) UU ITE
"Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang bermuatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik"
Pasal 310 ayat (1) KUHP
Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
Rumusan Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat (1) UU ITE yang tampak sederhana berbanding terbalik dengan sanksi pidana dan denda yang lebih berat dibandingkan dengan sanksi pidana dan denda dalam pasal-pasal penghinaan KUHP.
Misalnya, seseorang yang terbukti dengan sengaja menyebarluaskan informasi elektronik yang bermuatan pencemaran nama baik seperti yang dimaksudkan dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE akan dijerat dengan Pasal 45 Ayat (1) UU ITE, sanksi pidana penjara maksimum 6 tahun dan/atau denda maksimum 1 milyar rupiah.
Pasal 45 UU ITE
(1) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Masih ada pasal lain dalam UU ITE yang terkait dengan pencemaran nama baik dan memiliki sanksi pidana dan denda yang lebih berat lagi, perhatikan pasal 36 UU ITE.
Pasal 36 UU ITE
"Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan perbuatan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 27 sampai Pasal 34 yang mengakibatkan kerugian bagi orang lain"
Misalnya, seseorang yang menyebarluaskan informasi elektronik yang bermuatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik dan mengakibatkan kerugian bagi orang lain akan dikenakan sanksi pidana penjara maksimum 12 tahun dan/atau denda maksimum 12 milyar rupiah (dinyatakan dalam Pasal 51 ayat 2)
Bila dicermati isi Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat (1) UU ITE tampak sederhana bila dibandingkan dengan pasal-pasal penghinaan dalam KUHP yang lebih rinci. Oleh karena itu, penafsiran Pasal 27 ayat (3) UU ITE harus merujuk pada pasal-pasal penghinaan dalam KUHP. Misalnya, dalam UU ITE tidak terdapat pengertian tentang pencemaran nama baik. Dengan merujuk Pasal 310 ayat (1) KUHP, pencemaran nama baik diartikan sebagai perbuatan menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum.
Pasal 27 ayat (3) UU ITE
"Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang bermuatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik"
Pasal 310 ayat (1) KUHP
Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
Rumusan Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat (1) UU ITE yang tampak sederhana berbanding terbalik dengan sanksi pidana dan denda yang lebih berat dibandingkan dengan sanksi pidana dan denda dalam pasal-pasal penghinaan KUHP.
Misalnya, seseorang yang terbukti dengan sengaja menyebarluaskan informasi elektronik yang bermuatan pencemaran nama baik seperti yang dimaksudkan dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE akan dijerat dengan Pasal 45 Ayat (1) UU ITE, sanksi pidana penjara maksimum 6 tahun dan/atau denda maksimum 1 milyar rupiah.
Pasal 45 UU ITE
(1) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Masih ada pasal lain dalam UU ITE yang terkait dengan pencemaran nama baik dan memiliki sanksi pidana dan denda yang lebih berat lagi, perhatikan pasal 36 UU ITE.
Pasal 36 UU ITE
"Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan perbuatan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 27 sampai Pasal 34 yang mengakibatkan kerugian bagi orang lain"
Misalnya, seseorang yang menyebarluaskan informasi elektronik yang bermuatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik dan mengakibatkan kerugian bagi orang lain akan dikenakan sanksi pidana penjara maksimum 12 tahun dan/atau denda maksimum 12 milyar rupiah (dinyatakan dalam Pasal 51 ayat 2)
Pasal 51
ayat (2) UU ITE
Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 36 dipidana dengan pidana
penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah).
Berdasarkan dari
pengamatan para pakar hukum dan politik UU ITE mempunyai sisi positif bagi
Indonesia.Misalnya memberikan peluang bagi bisnis baru bagi para wiraswastawan
di Indonesia karena penyelenggaraan sistem elektronik diwajibkan berbadan hukum
dan berdomisili di Indonesia.Otomatis jika dilihat dari segi ekonomi dapat
mendorong pertumbuhan ekonomi.Selain pajak yang dapat menambah penghasilan
negara juga menyerap tenaga kerja danmeninggkatkanpenghasilanpenduduk.
UU itu juga dapat mengantisipasi kemungkinan penyalahgunaan internet yang merugikan, memberikan perlindungan hukum terhadap transaksi dan sistem elektronik serta memberikan perlindungan hukum terhadap kegiatan ekonomi misalnya transaksi dagang.Penyalahgunaan internet kerap kali terjadi seperti pembobolan situs-situs tertentu milik pemerintah.Kegiatan ekonomi lewat transaksi elektronik seperti bisnis lewat internet juga dapat meminimalisir adanya penyalahgunaandanpenipuan.
UU itu juga memungkinkan kejahatan yang dilakukan oleh seseorang di luar Indonesia dapat diadili.Selain itu, UU ITE juga membuka peluang kepada pemerintah untuk mengadakan program pemberdayaan internet.Masih banyak daerah-daerah di Indonesia yang kurang tersentuh adanya internet.Undang-undang ini juga memberikan solusi untuk meminimalisir penyalahgunaan internet.Saat ini kemajuan teknologi dan informasi berjalan dengan sangat cepat.
Adanya internet memungkinkan setiap orang mudah untuk mengakses informasi dan bertransaksi dengan dunia luar.Bahkan internet dapat menciptakan suatu jaringan komunikasi antar belahan dunia sekalipun.Kemajuan teknologi ini tentunya mempunyai dampak positif dan dampak negatif. Dampak positifnya antara lain mudahnya memperoleh informasi kapan pun dan dimana pun, meningkatkan perdagangan dan pertumbuhan ekonomi, menciptakan lapangan pekerjaan, dapat dimanfaatkan sebagai media pembelajaran dan sebagai media yang memungkinkan siapapun untuk berpartisipasi di dalamnya untuk keperluan apa pun dan lain-lain.
Namun Pemerintah Republik Indonesia bersama dengan DPR rupanya telah mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan buruk yang dapat ditimbulkan oleh internet. Maka setelah melalui proses pertimbangan, pada 21 April 2008, diundangkanlah Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang lebih dikenal dengan UU ITE. Lalu apakah maksud dan tujuan pemerintah dan DPR membentuk regulasi ini? Di dalam pasal 3 UU ITE disebutkan bahwa Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektonik dilaksanakan berdasarkan asas kepastian hukum, manfaat, kehati-hatian, iktikad baik dan kebebasan memilih teknologi atau netral teknologi. Pasal 4 juga menyebutkan bahwa Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Elektronik dilaksanakan dengan tujuan untuk:
UU itu juga dapat mengantisipasi kemungkinan penyalahgunaan internet yang merugikan, memberikan perlindungan hukum terhadap transaksi dan sistem elektronik serta memberikan perlindungan hukum terhadap kegiatan ekonomi misalnya transaksi dagang.Penyalahgunaan internet kerap kali terjadi seperti pembobolan situs-situs tertentu milik pemerintah.Kegiatan ekonomi lewat transaksi elektronik seperti bisnis lewat internet juga dapat meminimalisir adanya penyalahgunaandanpenipuan.
UU itu juga memungkinkan kejahatan yang dilakukan oleh seseorang di luar Indonesia dapat diadili.Selain itu, UU ITE juga membuka peluang kepada pemerintah untuk mengadakan program pemberdayaan internet.Masih banyak daerah-daerah di Indonesia yang kurang tersentuh adanya internet.Undang-undang ini juga memberikan solusi untuk meminimalisir penyalahgunaan internet.Saat ini kemajuan teknologi dan informasi berjalan dengan sangat cepat.
Adanya internet memungkinkan setiap orang mudah untuk mengakses informasi dan bertransaksi dengan dunia luar.Bahkan internet dapat menciptakan suatu jaringan komunikasi antar belahan dunia sekalipun.Kemajuan teknologi ini tentunya mempunyai dampak positif dan dampak negatif. Dampak positifnya antara lain mudahnya memperoleh informasi kapan pun dan dimana pun, meningkatkan perdagangan dan pertumbuhan ekonomi, menciptakan lapangan pekerjaan, dapat dimanfaatkan sebagai media pembelajaran dan sebagai media yang memungkinkan siapapun untuk berpartisipasi di dalamnya untuk keperluan apa pun dan lain-lain.
Namun Pemerintah Republik Indonesia bersama dengan DPR rupanya telah mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan buruk yang dapat ditimbulkan oleh internet. Maka setelah melalui proses pertimbangan, pada 21 April 2008, diundangkanlah Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang lebih dikenal dengan UU ITE. Lalu apakah maksud dan tujuan pemerintah dan DPR membentuk regulasi ini? Di dalam pasal 3 UU ITE disebutkan bahwa Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektonik dilaksanakan berdasarkan asas kepastian hukum, manfaat, kehati-hatian, iktikad baik dan kebebasan memilih teknologi atau netral teknologi. Pasal 4 juga menyebutkan bahwa Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Elektronik dilaksanakan dengan tujuan untuk:
a. mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai bagian dari masyarakat informasi
dunia;
b. mengembangkan perdagangan dan perekonomian nasional dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat;
c. meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan publik;
d. membuka kesempatan seluas-luasnya kepada setiap orang untuk memajukan pemikiran dan kemampuan di bidang penggunaan dan pemanfaatan Teknologi Informasi seoptimal mungkin dan bertanggung jawab; dan
e. memberikan rasa aman, keadilan, dan kepastian hukum bagi pengguna dan penyelenggara Teknologi Informasi.
b. mengembangkan perdagangan dan perekonomian nasional dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat;
c. meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan publik;
d. membuka kesempatan seluas-luasnya kepada setiap orang untuk memajukan pemikiran dan kemampuan di bidang penggunaan dan pemanfaatan Teknologi Informasi seoptimal mungkin dan bertanggung jawab; dan
e. memberikan rasa aman, keadilan, dan kepastian hukum bagi pengguna dan penyelenggara Teknologi Informasi.
Demikianlah asas-asas dan tujuan
dibentuknya Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik atau yang lebih dikenal dengan UU ITE. Kiranya dapat
dipahami bersama dan dilaksanakan dengan iktikad baik. Untuk mengetahui lebih
lanjut, Anda dapat mendownload Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun
2008 Tentang InformasidanTransaksiElektronik
Adapun dampak positif dan negatifnya dari diberlakukannya UU ITE adalah sebagai berikut:
Dampak Positif.
Adapun dampak positif dan negatifnya dari diberlakukannya UU ITE adalah sebagai berikut:
Dampak Positif.
- Semua kegiatan pengajuan harga,
kontak kerja sama, penagihan berbasis elektronik dilindungi hukum. Semua
kiriman email ke klien yang terdokumentasi bisa menjadi bahan pertimbangan
hukum, bila suatu waktu terjadi masalah dalam proses kerja sama. Untuk
kita yang kerjanya di ranah maya, tentu ini memiliki nilai positif.
- Jika kita melakukan transaksi
perbankan (misalnya melalui Klik BCA) dan dirugikan karena (misalnya)
ketekan tombol submit 2 kali, dan ini tidak diantisipasi oleh
pengelola transaksi, maka kita berhak secara hukum menuntut pengelola
transaksi tersebut. Tuntutan ini juga bisa berlaku untuk mereka yang
menjadi merchant egold, PayPal, dsb.
- Bila ada perusahaan yang
mendaftarkan namadomain dengan maksud menjelekkan produk/merk/nama
tertentu, perusahaan tersebut bisa dituntut untuk membatalkan nama domain.
Makanya, kalau ada yang membuat namadomain pitrajelek.com atau
pitrabusuk.com, berhati-hatilah.
- Semua yang tertulis dalam
sebuah blog menjadi resmi hak cipta penulisnya dan dilindungi hak kekayaan
intelektualnya. Makanya, berhati-hatilah menulis dalam blog, karena
tulisan negatif yang merugikan pihak lain, juga ikut resmi menjadi hak
cipta penulisnya, dan itu bisa dituntut oleh pihak yang dirugikan.
- Bila ada yang melakukan
transaksi kartu kredit tanpa sepengetahuan pemilik kartu (alias carding),
secara jelas bisa dituntut melalui hukum.
- Hati-hati yang suka nge-hack
situs untuk mendapatkan database situs tersebut. Apalagi dengan
tujuan menggunakannya untuk transaksi ilegal, misal: menjual alamat email
tanpa sepengetahuan pemilik email. Hal ini juga berlaku untuk para pemilik
situs yang harus menjamin kerahasiaan anggotanya, dan tidak menjual database
tersebut ke pihak lain. Ini juga termasuk kasus jual-menjual database
pengguna telepon genggam ke bank untuk penawaran kartu kredit.
- Situs-situs phising secara
hukum dilarang.
Dampak Negatif
- Isi sebuah situs tidak boleh
ada muatan yang melanggar kesusilaan. Kesusilaan kan bersifat normatif.
Mungkin situs yang menampilkan foto-foto porno secara vulgar bisa jelas
dianggap melanggar kesusilaan. Namun, apakah situs-situs edukasi AIDS dan
alat-alat kesehatan yang juga ditujukan untuk orang dewasa dilarang? Lalu,
apakah forum-forum komunitas gay atau lesbian yang (hampir) tidak ada
pornonya juga dianggap melanggar kesusilaan? Lalu, apakah foto seorang
masyarakat Papua bugil yang ditampilkan dalam sebuah blog juga dianggap
melanggar kesusilaan?
- Kekhawatiran para penulis blog
dalam mengungkapkan pendapat. Karena UU ini, bisa jadi para blogger
semakin berhati-hati agar tidak menyinggung orang lain, menjelekkan produk
atau merk tertentu, membuat tautan referensi atau membahas situs-situs
yang dianggap ilegal oleh UU, dll. Kalau ketakutan menjadi semakin
berlebihan, bukanlah malah semakin mengekang kebebasan berpendapat?
- Seperti biasa, yang lebih
mengkhawatirkan bukan UU-nya, tapi lebih kepada pelaksanaannya. Semoga
saja UU ini tidak menjadi alat bagi aparat untuk melakukan investigasi berlebihan
sehingga menyentuh ranah pribadi. Karena seperti Pak Nuh bilang, UU ini
tidak akan menyentuh wilayah pribadi. Hanya menyentuh wilayah yang
bersifat publik. Itu kan kata Pak Nuh. Kata orang di bawahnya (yang
mungkin nggak mengerti konteks) bisa diinterpretasi macam-macam.
This comment has been removed by the author.
ReplyDelete